[22] Close

203 34 8
                                    

Sudah beberapa minggu berlalu, seiring berjalannya waktu, Claressa dan Ray kini menjadi dekat. Tak jarang mereka menghabiskan waktu bersama karena memahami keadaan satu sama lain. Aldi juga ikut larut dalam keakraban, menemani mereka berdua, walaupun pada akhirnya tetap saja menjadi kacang disana. Tapi Aldi-lah yang paling berjasa banyak, ia rela menjadi pusat pencipta tawa mereka.

"Gaesssss, guaa galau gaesss," ujar Aldi dengan tak bersemangat. Pagi-pagi ia memasuki ruangan kelas dengan raut kusut.

Spontan Claressa dan Ray menoleh ke arah Aldi. Mereka memasang raut bingung, tak tahu apa yang terjadi pada temannya yang satu itu.

"Kenapa?" tanya Ray dengan suara datar saat Aldi sudah duduk di kursinya.

"Vallen nolak gue. Gue jadi pengen mengakhiri hidup gue aja," balasnya murung. Ia sudah berangsut meletakkan kepalanya di meja.

Claressa dan Ray saling bertatapan sejenak, lalu sama-sama tertawa geli mendengar balasan lebay dari Aldi atas apa yang menjadi persoalan sampai membuatnya menjadi seperti itu pagi ini.

"Banyak orang di kuburan minta hidup lagi, nah lo yang hidup malah minta mati, bersyukur dong," Claressa berkilah.

Ray terkekeh pelan. "Tuh dengerin ceramahnya, nanti kalo ngebantah baru tahu rasanya nyesel."

Aldi kembali duduk lalu menatap bergantian pada dua temannya sebelum berkata lirih, "Kalian cocok ya."

Ternyata tak sesuai dugaannya, lirihannya masih dapat tertangkap oleh indra pendengaran mereka berdua. Ia sudah salah mengucap hal itu, karena itu langsung menjadi malapetaka baginya untuk saat ini.

"Apa lo bilang?!" Claressa tiba-tiba menyulut tak terima.

"Hah?! Gue?" Ray menuding dirinya sendiri. "Sama nenek sihir ini? Yang bener aja, kayak stok persediaan cewek di dunia ini cuma sedikit aja."

"Kenapa gue mendengar itu seperti menghina gue, ya?"

Ray membalas tatapan tajam Claressa dengan senyum mengintimidasi. "Salah ya? Enggak, kan, emang bener."

Sayangnya, perdebatan mereka tidak bisa dilanjut lebih jauh lagi, baru saja seorang guru yang akan mengajar mapel pagi ini masuk ke dalam kelas, membuat semua murid terdiam. Mereka bertiga ikut diam, karena tidak mau dijatuhi hukuman. Karena mereka tahu guru ini terkenal atas ke-killer-an nya, oleh karena itu mereka lebih baik diam dan tidak membuat masalah dengannya.

*

"Memangnya kamu nggak ada kerjaan lain? Kamu nggak capek, tiap hari nyamperin aku di kampus?" tanya Vanza dengan suara lembut dan sorot teduhnya.

Ia menatap pada Dio yang sedang menikmati semangkuk baksonya. Sejak tempo hari lalu saat pertama kali ia mengenalkan bakso pada Dio, setiap hari sepulang kuliah, Dio selalu muncul dan memintanya untuk menemani memakan bakso ataupun makanan yang lainnya.

Dio melirik Vanza lalu menggeleng. "Enggak, kan aku bisa teleportasi. Lagipula aku juga bisa makan bakso setelahnya."

Hanya senyum simpul dan gelengan kepala heran yang bisa Vanza lakukan sekarang. Ia sibuk menopang dagunya dengan tangan dan menyaksikan Dio menghabiskan makanan di hadapannya.

"Aku bukan seven deadly sins atau juga virtues. Aku juga bukan Iblis Pencabut Nyawa, atau Iblis Undertaker yang mengatur semua arsip tentang manusia yang lahir dan mati."

Dio menyambung kembali, "Aku hanya aku, seorang soul reaper. Aku sudah membuat kontrak denganmu, jadi tugasku hanya perlu mengawasimu saja."

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang