[24] A Story

192 32 1
                                    

Waktu berjalan sangat lambat bagi mereka yang menunggu, sangat cepat bagi mereka yang merasa takut, sangat panjang bagi mereka yang bersedih dan sangat pendek bagi mereka yang berbahagia.

Tapi bagi cinta, waktu itu abadi.

Setiap waktu pasti meninggalkan kenangan, tak tahu pasti nantinya akan membekas atau terlupakan di semua memori manusia. Kebahagiaan apa saja yang mereka dapatkan, begitu juga dengan cobaan apa saja yang mereka hadapi.

Masa lalu adalah sebuah pembelajaran bagi kita untuk menjadi lebih baik, tak semua masa lalu akan menjadi hal buruk, lebih banyak yang mengajarkan kita berbagai pengalaman, agar menjadi lebih baik dan berpengalaman di masa depan.

"Pengalaman adalah guru terbaik."

Lebih baik dari pada 1000 nasihat tanpa suri tauladan. Pengalaman membuat kita langsung mengerti, apa yang harus kita lakukan untuk kedepannya, dan apa yang harus kita ubah selanjutnya.

Beberapa bulan berlalu, suasana masih tetap seperti biasanya, bahkan waktu terasa sangat cepat hingga tak sadar di setiap hari-hari mereka, setidaknya ada sebutir kebahagiaan yang tercipta.

"Nih." Claressa menyodorkan sebuah gelang persis dengan gelang yang dipakainya, hanya saja berbeda warna.

Ray menatap pongah benda di tangan Claressa itu lalu tertawa geli. "Bukan maksud gue untuk menyinggung lo ya. Tapi, plis deh. Kita udah lama jadi temen, gak usah pake ada bumbu-bumbu cinta."

Mendengar balasan Ray, membuat Claressa merasa di tembaki jutaan anak panah habis-habisan, tangannya spontan menjitak kepala lelaki didepannya dengan keras, tak peduli apa respon yang diberikan setelah perilakunya itu.

"Dasar, lo bukan titisan mak lampir beneran, kan? Eh gue lupa, mak lampir nggak jitak kepala orang."

Claressa menarik tangan Ray, meletakkan gelang pemberiannya di telapak tangan temannya itu.

"Ini. Buat. Kakak. Lo. Bukan. Buat. Lo. PEA!" balas Claressa dengan penuh penekanan di setiap katanya, akibat kekesalan yang dirasanya.

"Jadi, lo sayangnya sama kakak gue doang? Sama gue enggak?" Ray pura-pura terisak, membuat Claressa menatapnya dengan bergidik jijik.

Tak tahan dengan perilaku Ray, Claressa langsung to the point menjelaskan alasan ia memberi sebuah gelang pada Vanza.

"Lo dulu pernah bilang, kan, kalau lo mau gelang kayak gue buat kakak lo. Gue berhasil nemuin gelang ini, beda warna sih, tapi gue yakin kalau sama aja."

Ray hanya manggut-manggut, lalu menyimpan gelang itu di dalam tasnya.

"Mbak, Claressa pergi ke sekolah dulu ya."

"Iya, hati-hati ya. Jangan bertengkar mulu sama Mas Rayhan, gak baik kalau pacaran debat terus," balas Mbak Emi-Seorang wanita berusia sekitar 20 tahun-an, bekerja sebagai pembanti di rumah Claressa selama bertahun-tahun-sambil tertawa geli. Ia sempat menghentikan kegiatannya menyiram tanaman sebentar, untuk membalas salam Claressa.

Tatapan tidak setuju dari Claressa dan Ray kompak mendarat pada Mbak Emi. "Cie sama-sama lirik saya, jadi malu deh," balas Mbak Emi, diluar dugaan mereka berdua.

Sekarang Claressa sudah banyak belajar dari Ray untuk menghargai dan peduli pada sekitarnya. Sekarang ia sudah bukan lagi Claressa yang di cap gadis aneh, kini ia disukai oleh teman-teman sekelasnya. Ia bisa tersenyum hangat dan tulus pada orang lain, membuat banyak remaja laki-laki di sekolah mengincar karena terpesona dengan kecantikannya saat tersenyum.

Dan hal kedekatannya dengan Ray juga menjadi gosip di sekolah. Gosip itu menyebutkan jika mereka diam-diam menjalin hubungan, padahal jelas-jelas itu hanya rumor semata.

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang