[06] Worry

346 56 12
                                    

"Hng?" Ray menaikkan sebelah alisnya.

Orang-orang itu berjalan mendekati Ray hingga memojokkannya. Buruknya lagi, tiba-tiba di belakangnya ia menemukan tembok yang membuat jalannya buntu, membuat dia tidak bisa mundur atau menjauh lagi dari kemarahan warga itu.

"Pergi."

"Anak setan."

"Siluman."

"Dasar dukun ilmu hitam."

Semua ejekan itu, cercaan itu, terus tergiang-ngiang di telinga Ray. Semakin keras, semakin keras dan keras.

"AAA!"

Semua itu berujung teriakan dan nafas tak teratur dari Ray, ternyata ia baru saja terbangun dari mimpi buruknya. Ia langsung bangun dengan posiai duduk, juga peluh keringat sebesar biji jagung yang menetes di pelipisnya.

"Ray kamu kenapa teriak?" tanya Vanza dengan nada cemas, ia muncul dari ambang pintu kamar setelah mendengar teriakan kencang dari adiknya.

Nafasnya masih belun teratur, Ray tak percaya suara dari sekumpulan orang-orang itu membuat gendang telinganya hampir pecah karena kerasnya suara itu. Ia tahu itu hanya sekedar mimpi, namun entah mengapa mimpi itu terasa sangat nyata seperti ia mengalami itu sendiri.

Ia menghirup nafas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan, Ray menoleh pada Vanza seraya tersenyum tipis. "Gak papa, kak. Ray cuma habis mimpi buruk aja."

Vanza ber-oh-ria namun ia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. "Yaudah, kamu cepat mandi, sarapan terus berangkat sama kakak."

"Iya," balas Ray.

*

"Kamu mimpi apa tadi?" tanya Vanza, ia melirik sekilas pada adiknya yang dari tadi melamun melihat keadaan di luar jendela samping passenger seat.

Ray menoleh pada Vanza yang kini sudah kembali fokusnya pada aktivitas menyetir mobilnya.

"Bukan apa-apa," jawabnya, lalu kembali menoleh pada jendela.

Vanza curiga pada adiknya itu, ia khawatir ada apa-apa dengan mimpi buruk yang ia alami semalam. "Kamu mimpi berhubungan dengan kemampuan kamu, kan?"

"Kakak tahu darimana?"

Vanza menarik senyum simpul. "Sudah jelas dari rautmu, kalau bukan tentang itu bagaimana bisa kamu kayak gini?"

Hanya sampai disitu saja, Ray tidak tahu harus menjawab apa dan ia memih diam. Sampai akhirnya mobil mereka menepi ke jalan saat SMA tempat Ray bersekolah sudah dekat.

Ray hendak membuka pintu mobil, tapi gerakannya di hentikan oleh suara lembut Vanza.

"Hati-hati, Dont forget to not make any mistake about yout potential. Okay."

Remaja laki-laki itu menghela nafas lalu mengangguk pada kakaknya. Ia kembali masuk untuk memberi satu kecupan di pipi Vanza sebagai perpisahan sementara untuk saat ini. Ia keluar dan menutup pintu mobil, barulah berjalan memasuki wilayah area sekolahnya.

Vanza masih belum melepas pandangannya dari punggung adiknya yang bergerak kian menjauh, menyatu dengan gerombolan anak-anak SMA yang lainnya. Dan membuat ia tidak bisa membedakan yang manakah adiknya.

Walaupun Ray sudah beranjak dewasa dan memasuki masa-masa SMA, tapi Vanza masih saja menggangap Ray adalah anak kecil yang masih terlalu polos. Adiknya tidak bisa menyembunyikan rahasianya terlalu lama dan mudah meluapkan amarahnya dengan cara menunjukkan kemampuannya.

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang