[28] Lost Memories

155 27 0
                                    

"Vanza, lo di dalem?" tanya Aletta bingung dengan keberadaan Vanza yang secara ajaib tiba-tiba muncul di belakang Ray.

"Hah?" Alex terbelalak.

Ray tak kalah bingung dari Aletta dan Alex. Ia bahkan sudah memastikan mengecek seluruh penjuru rumah, bahkan memanggil nama Vanza berulang kali dengan keras, tapi tak ada balasan. Dan bagaimana bisa sekarang Kakaknya muncul tiba-tiba dari dalam?

"Vanza, lo kenapa akhir-akhir ini, selalu tinggalin kita berdua sih?" Aletta menghampiri Vanza, menangkup wajah gadis itu.

"Mm.. Aku pulang sama Dio."

Alex mengusap wajahnya kasar. "Dio siapa? Gue belum pernah denger namanya, ataupun ketemu sama orang yang lo sebutin itu."

"Kalian kenapa khawatir gini?" Vanza mengenggap tangan Aletta menangkup wajahnya, sembari menatap gadis di depannya lekat-lekat.

"Gue mimpi, takut lo hilang," ujar Aletta lirih, membuat Ray dan Vanza tertegun.

Ray berdecih. "Mimpi yang aneh."

"G-gue juga nggak ngerti, tau-tau tadi malam gue ngerasain ada yang aneh sama lo, dan pagi ini lo gak ada dirumah. Itu yang bikin gue khawatir," nada bicara Aletta tidak beraturan.

Alex menghampiri Aletta, ia mendekap gadis itu dalam pelukannya. Alih-alih melawan seperti biasanya, Aletta hanya diam, ia merasa sedikit tenang dalam rangkulan laki-laki itu.

"Vanza gak papa, Al. Lo tenangin diri dulu. Jangan buat semua ikut cemas." Alex mengelus puncak kepala Aletta dengan lembut.

"Kayaknya dia harus pulang dan tenangin diri di rumah," ujar Ray dingin. Hal itupun disetujui oleh Alex.

Mereka berdua pamit pergi untuk pulang, dan memohon maaf karena tak bisa berlama-lama. Aletta masih dalam rangkulan Alex, sampai laki-laki itu membukakan pintu mobil untuknya, dan mereka pulang.

Ray menutup pintu dengan keras. Ia menarik tangan kakaknya, mengajaknya duduk di sofa.

"Kak, padahal Ray udah cari di mana-mana, tapi kakak gak ada, gimana bisa Kakak muncul gitu aja? Padahal pintu belakang kekunci dari dalam?"

"Tenangkan dirimu," sahut seseorang yang berdiri di ambang pintu kamar Vanza.

Ray dan Vanza spontan menoleh menatapnya. Ia berjalan menghampiri mereka, lalu dengan lancang duduk di sofa tanpa ada yang mempersilahkan.

"Dia dibawa oleh orang yang kau sangat percayakan itu, Ray," ujar Lucifer.

Ray hanya menatapnya datar, sementara Vanza ia tertegun melihat bagaimana sosok itu bisa muncul disini.

Vanza menuding Lucifer dengan jarinya telunjuknya. "Pergi kau. Apa maumu?!"

"Aku hanya ingin memberi jawaban dari pertanyaan adikmu? Apa itu salah? Lagipula, Iblis itu tidak ada disini. Siapa yang akan melindungimu gadis kecil?"

"Siapa yang kau maksud dengan Iblis itu." Ray bertanya dengan tegas, banyak sekali pertanyaan yang muncul di benaknya hingga ia tak mampu membendungnya dan memikirkan jawaban yang logis.

Lucifer itu menyeringai. "Teman kakakmu itu, Dio. Aku tidak percaya namanya menjadi aneh."

Ray tertegun. Vanza menggigit bibir bawahnya, menatap cemas pada Ray. Ia tidak bisa membayangkan jika Ray percaya dengan ucapan Lucifer.

"Omong kosong!" bentak Ray, membuat Vanza semakin cemas.

"Mana mungkin kakak berteman dengan Iblis. Jelas-jelas Dio makan dan minum seperti manusia," Ray mencoba membantah, ia benar-benar tak bisa mempercayai Lucifer lagi.

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang