[16] Unknown Moment

244 39 7
                                    

21.57

Keempat angka itu yang tertera pada jam digital yang berdiri rapi di atas nakas, di samping kasur Ray.

Tok tok tok.

Suara pintu kamar Ray diketuk tiga kali berturut-turut. "Masuk," jawab Ray seraya merubah posisinya menjadi duduk di tepi kasurnya.

Tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka dan ia mendapati Vanza berdiri disana, dengan wajah cemas.

"Ray, kamu belum tidur?"

Ray menggeleng pelan. "Belum, kakak juga gak tidur?"

Vanza membuka pintu lebih lebar lagi, lalu berjalan masuk ke dalan kamar adiknya. Ia duduk di tepi kasur empuk, di sebelah adiknya itu.

"Ray, kamu setuju gak kalau kemampuan kamu hilang?" Pertanyaan Vanza yang tiba-tiba itu sukses membuat Ray terperangah.

Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. "Kenapa tiba-tiba kakak tanya itu?" Ray balik bertanya pada Vanza.

"Udah kamu jawab aja," balas Vanza dengan lembut. Disertai senyum tipis.

Ray terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Ray juga gak tau kak. Di satu sisi Ray mau ngerasain hari tanpa diganggu sama makhluk-makhluk itu. Tapi di sisi yang lain, keseharian ini udah menyatu sama hidup Ray. Rasanya ini udah takdir buat Ray, dan Ray gak bisa mengubah itu."

Vanza mengelus rambut Ray dengan lembut. "Kalau ada apa-apa, Ray cerita aja ke kakak. Udah berapa lama kakak gak denger curhatan kamu, bahkan tentang makhluk-makhluk itu."

"Ray gak mau buat kakak terbebani sama diri Ray. Ray juga tahu kakak udah mulai sibuk sama tugas kuliah. Dan Ray pikir jangan lagi di tambah sama kemampuan yang gak jelas dari mana ini."

Ia menghela nafas panjang sejenak, sebelum melanjutkan pembicaraannya lagi. "Mungkin kalau Ray gak lahir, kakak masih bisa senyum dan jalani hari-hari yang normal. Sama Papa, sama Mama, juga sama-"

Vanza langsung membungkam mulut adiknya itu. Alisnya menurun, tatapannya melembut selembut sutra, ia tidak mau adiknya melanjutkan kata-kata yang bisa menyayat hatinya lebih luas lagi.

"Ray, kakak pernah bilang, kan. Kamu itu bukti dari baiknya Tuhan sama kakak, jadi jangan berangan apa yang akan terjadi jika gak ada kamu. Ini udah menjadi takdir, just do it," ujar Vanza dengan suaranya yang masih melembut.

Ray tersenyum tulus lalu memeluk kakaknya dengan erat. "Ray janji bakal lebih terbuka sama kakak. Ray bakal coba bilang gimana hari-hari Ray. I know you love me, and me too."

Vanza membalas pelukan itu dengan hangat, sembari mengelus rambut adiknya. "Yes of course, me too"

***

Aletta sedang terburu-buru, ia lupa bahwa ada kelas jam 8 ini dan malah ia gunakan untuk tidur cantik di kasurnya. Alhasil, kini ia harus mengejar waktu agar tidak terlambat.

Selembar roti masih ada di mulutnya, sementara kedua tangannya sibuk memakai sepatunya.

"Ya ampun masa sampai segitunya?" suara seseorang terdengar di telinga Aletta, sambil tertawa meremehkan.

Ia langsung cepat menoleh ke sumber suara dan menemukan Alex di dalam mobilnya, dengan jendela yang terbuka sedang menatapi dirinya sambil tertawa.

Aletta langsung saja berjalan masuk ke mobil Alex, untuk nebeng ke kampus. Karena tidak ada satu kendaraan pun yang bisa ia gunakan untuk pergi ke kampusnya. Saking terburu-burunya ia sampai tidak menghiraukan ucapan Alex yang tadi.

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang