Pagi hari menjemput langit. Alih-alih membuat semua orang kagum dan bahagia atas suasana cerahnya, ia malah membuat orang-orang terguyur jutaan tetesan air dari awan gelap yang menggumpal di atas sana.
Seakan tahu bagaimana perasaan Ray. Melodi rintikan hujan sangat senada. Kedua mata yang memaksa untuk bangun dengan keadaan serupa mata hewan panda karena menghabiskan waktu semalaman untuk menangis. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, setelah kesadarannya pulih dengan utuh, ia langsung beranjak dari kasur masuk ke kamar mandi.
Guyuran air memadu dengan suara rintikan hujan di luar sana. Tidak lama ia menghabiskan waktu di dalam sana, waktunya cukup sempit. Laki-laki itu langsung keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk yang melilit tubuh jakungnya. Ia membuka lemari, mengeluarkan setelan hitam yang sudah lama tidak pernah ia pakai. Namun untuk saat ini, ia harus memakainya.
Tidak memakan waktu cukup lama, kini tubuhnya sudah di balut oleh kemeja hitam dan juga celana panjang berwarna senada. Ia menyisir rambutnya dan langsung keluar dari kamar. Di ruang tengah, ternyata tiga orang sudah menunggunya disana.
"Apa kau sudah siap?" Mammon beranjak saat matanya menangkap keberadaan Ray keluar dari kamarnya.
Ray diam sejenak, membuat suasana lenggang karena wajah datarnya. Lalu ia mengangguk pelan.
Suara lembut berceletuk. "Maaf gak bangunin lo dari awal. Gue tahu kalau-"
"Tidak ada waktu mengobrol. Ayo," potong Leviathan, membuat Claressa mendengus gusar.
Mammon berjalan menghampiri Ray. Ia menepuk puncak kepala laki-laki itu, lalu mengusapnya kasar. "Jangan cengeng." Lalu sedetik kemudian, ia sudah melakukan teleportasi, membuat keberadaannya dan Ray lenyap dari ruangan itu.
"Cih, seenaknya saja pergi," Claresa menggerutu. Ia menatap Leviathan, tatapan matanya menuntut.
Iblis di hadapannya langsung tahu maksudnya. Leviathan terkekeh, ia mengulurkan tangannya. "Mau berangkat sekarang?"
Claressa menatap jengah telapak tangan Leviathan. Dengan terpaksa, ia meletakkan telapak tangannya disana. Membuat kedua tangan mereka bersatu. Genggaman dingin dirasakan gadis itu, ia menghela napas panjang.
Mereka turut menghilang dari sana, menyusul Mammon yang sudah pergi mendahului mereka.
***
Kedua laki-laki itu muncul di sebuah tempat sunyi. Hanya suara hujan yang terdengar, padahal banyak orang disana. Beberapa diantara mereka, sekuat mungkin menahan suara lara yang menyayat hati. Mengetahui seseorang telah pergi dengan cepat, mendahuluinya, meninggalkannya tanpa ia sadari dalam jangka secepat ini. Mereka berusaha menahan jerit pilu yang sedari tadi memberontak ingin keluar, bersamaan dengan tetesan dari pelupuk mata.
Pemakaman sudah berjalan sejak tadi. Sebagian orang menepuk pundak Ray yang baru datang. Kebanyakan dari mereka mengucapkan, "sabar, mungkin takdir tuhan kali ini memang pahit untukmu," ada juga, "semoga ia beristirahat dengan tenang disana," rata-rata seperti itu.
Ray sangat membenci momen ini, hal ini mengingatkannya pada hari dimana Papa atau Mamanya dimakamkan. Semua mengatakan hal seperti itu, dan Kakaknya dengan mudah langsung menunjukkan senyum hangatnya yang palsu. Ia menjawab, "tidak perku khawatir, aku dan Ray akan baik-baik saja." Padahal ia sendiri jelas jika sedang tidak baik-baik saja.
Saat disana tersisa secuil orang. Ray mulai memberanikan diri untuk berjalan mendekat pada batu nissan bertuliskan, 'Vanza Amarissa Maharani'. Nama yang selama ini ia kagumi, ia sayangi. Seseorang yang selama ini selalu bersama dan berada di sisinya. Mendukung dan menyemangati hidupnya, baik dikala suka dan duka. Kakaknya, yang paling ia cintai. Kini pergi, meninggalkannya ke tempat yang sangat jauh. Yang tidak bisa ia jangkau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soul Reaper [✔]
Fantasy[Fantasy-Paranormal] Bayangkan, hari ini kau masih menjalani kehidupan dengan normal layaknya manusia pada umumnya. Namun pada esok harinya, mendadak semua berubah, adikmu mempunyai kemampuan melihat makhluk halus, atau yang mereka sebut Indigo dan...