[13] Attack

244 42 7
                                    

Matahari mulai berjalan menggapai puncak langit biru, sengatan teriknya makin terasa. Sangat panas sampai-sampai rasanya merasuk ke dalam kulit hendak menggapai tulang.

Ray sedang berjalan santai hendak kembali ke dalam kelasnya dari kantin. Ia baru saja membeli dua kotak susu rasa coklat kesukaannya.

Ia berjalan sambil meninum salah satu susu cokelat yang ia beli. Cukup banyak yang menyapanya, terutama kalangan remaja perempuan, baik dari tingkat diatas Ray yaitu seniornya, maupun juniornya.

"Haii Adii," sapa seorang remaja perempuan sambil memasang senyum lebar, matanya sampai menyipit saking lebarnya senyum yang ada pada wajahnya itu.

Ray memutar bola matanya dengan malas. Sebenarnya ia tidak berniat untuk membalas sapaan gadis itu. Namun entah kenapa ia spontan menjawab dengan kesal. "Nama panggilan gue itu Ray. Bukan Adi," tuturnya dengan penuh penekanan.

Gadis itu menghampiri Ray lalu mengerutkan dahinya. "Emang salah, ya? Kan nama lo itu Rayhan Adi Putra. Karena udah banyak yang manggil lo dengan nama panggilan Ray. Yaudah, jadi gue panggil lo Adi aja."

"Whatever," ketus Ray dengan suara dingin, lalu kembali menyedot susu kemasannya serta melanjutkan langkahnya, dan berjalan pergi.

"Ray, tunggu!" Gadis itu menarik lengan Ray, untuk menghentikan langkahnya. Hal itu sukses.

"Lo marah, ya?" Hening sejenak, tidak ada percakapan lagi diantara mereka. Ray belum juga membuka suara untuk memberikan jawaban atas pertanyaan untuknya barusan.

Gadis itu membuka suara lagi, "Emang kenapa sih? Lo itu selalu dingin banget sama gue. Bisa gak sih, satu hari aja lo ga dingin banget kayak suhu di Antartica ke gue?"

"Mungkin, gak bisa." Ray menepis kasar tangan Vallen yang menahan lengannya, lalu ia berjalan meninggalkan gadis itu. Ia juga tidak peduli dengan beberapa tatapan yang mengawasi dirinya.

Vallen tertegun melihat respon Ray padanya. Perlahan seulas seringaian tersungging para raut wajahnya.

"Lihat saja, Ray. Tanggal permainan ini masih belum dekat, dan saat itu tiba, lo bakal menyesali karena telah lahir di dunia," gumam gadis, itu lalu ikut beranjak pergi dari sana dengan arogan.

*

"Ray," panggil suara seseorang sambil menepuk bahu laki-laki itu.

Mendengar namanya di panggil, Ray spontan menoleh ke sumber suara dengan tatapan datar.

"Tadi di koridor gue lihat lo lagi sama Vallen. Lo jahat banget sih sama dia, kan dianya kasian. Padahal dia udah baik ke lo. Baik banget malahan."

"Gue pikir lo mau bilang sesuatu yang penting. Ternyata gak penting kayak biasanya, dah bahkan jauh lebih gak penting," balas Ray dengan dingin

Aldi duduk di kursinya yang memang berada di sebelah Ray. Mereka berdua adalah seatmate. Sejak MOS, hanya Aldi yang Ray kenal, karena laki-laki itu mendekatinya duluan. Aldi bilang saat itu ia tidak mengenal siapapun di sekolah, karena dia adalah murid dari SMP Luar Kota yang baru saja pindah ke kotanya.

"Wah, keterlaluan lo. Kayaknya lo harus periksa mata deh. Apa sih yang kurang dari Vallen? Nih ya gue kasih tau, Vallen itu udah cantik, manis, baik, setia banget sama status singlenya."Aldi berkata dengan nada memuji yang kelewatan. Seakan-akan dia serupa dengan fans fanatik di luar sana.

Ia menambahi lagi," Dan satu lagi, dia itu selalu jaga jarak banget sama semua cowok yang gencar deketin dia. Jadi kalau dia ngasih perhatian lebih ke lo, artinya lo itu memang special buat dia. Emang kenapa sih? Lo gak suka jadi yang--"

Ray menatap tajam Aldi, lalu ia mendengus kasar dan memotong ucapannya. "Al, kalo lo suka sama si Vallen, deketin aja. Lagian gua juga gak tertarik pacaran, apalagi sama cewek kayak dia"

Aldi melengos mendengar ucapan Ray yang kesannya meremehkan Vallen. "Dasar, masa lo mau kalah sama bocah SD yang udah manggil Mama-Papa-an? "

"Yang penting--" Ray memutus perkataannya, lalu mendekatkan wajahnya pada Aldi. Sehingga wajah mereka berada dalam satu garis lurus. Lalu ia menunjuk pelipisnya, namun yang Ray maksud adalah otaknya. "--ini berkualitas."

Ray beranjak meninggalkan kelas dan juga meninggalkan Aldi yang masih terdiam di bangku tanpa bisa menjawan ucapan Ray.

Ia berjalan mendekat ke tempat sampah untuk membuang susu kemasan yang sudah habis ia minum tadi. Lalu melanjutkan langkahnya untuk menuju kamar mandi.

Sesekali Ray menengok ke kanan dan kiri, tapi suasana koridor sekolah sangat sepi. Hanya ada seorang petugas kebersihan sekolah yang sedang mengelap kaca ruang guru.

"Siang mas Ray," sapa Pak Ikin dengan ramah sambil tersenyum saat iamelihat Ray berjalan menghampirinya.

Ray membalas sapaannya dengan senyuman tipia. "Siang Pak." Ia memberikan sebuah susu kemasan lainnya yang ia beli sewaktu istirahat tadi.

"Makasih mas. " Pak Ikin menerimanya dengan riang.

Ray mengangguk, senyumnya juga tak luput dari sana. Lalu ia memberi salam untuk pergi dahulu kepada Pak Ikin, dan kembali berjalan menuju kamar mandi.

Di kamar mandi, ia membasuh wajahnya. Setelah menutup keran, masing-masing tangannya bertumpu pada sisi wastafel. Ia menatap cermin yang memantulkan wajahnya di hadapan sana.

Tiba-tiba sosok sekelam bayangan muncul dan terpantul di cermin itu, tepat di belakangnya. Ray tertegun, ia menoleh ke belakang untuk memastikan apakah pengelihatannya itu benar apa adanya.

Dan ternyata benar. Sangat tepat, sosok itu mendekati Ray. Saat jarak mereka sudah dekat, tanpa aba-aba, sosok itu tiba-tiba mencekik leher Ray.

Tidak ada lagi celah untuk melarikan diri. Ray tidak bisa mengelak karena sosok itu sudah mencekik dirinya, bahkan mengangkat Ray sehingga kakinya kini tak lagi menapak ke tanah. Ia meronta-ronta ingin dilepaskan, lidahnya keluh hingga tak bisa mengeluarkan kata kata.

"Berhenti," ucap seseorang dari ambang pintu masuk ke area kamar mandi.

Ray hendak melihat suara siapa gerangankah itu, tapi tubuhnya melemah, pandangannya juga mulai kabur. Dan lagi pula seseorang yang berteriak itu membelakangi cahaya, sehingga membuat pandangannya bunar dan tak bisa melihat dengan jelas.

Detik demi detik terlewati, mungkin beberapa detik lagi Ray akan kehilangan nyawanya jika cengkraman di lehernya masih saja bertengger. Yang lebih buruknya lagi, cengkraman itu semakin lama semakin kuat, hingga membuat tubuhnya lemas.

***TBC***

Published at : 20.53 | Senin, 09 April
Has been revised : 03 Nov 2018

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang