[27] Gone

166 28 0
                                    

Ray berjalan keluar dari kamar. Biasanya pada saat pagi hari seperti ini, aroma sedap masakan Vanza sudah merajalela seluruh ruangan di rumah. Namun entah mengapa, hari ini seperti ada sesuatu yang hilang.

Ia berjalan masuk ke kamar kakaknya. Ray mengetuknya beberapa kali sambil memanggil, "Kakak." Namun tak kunjung ada jawaban yang membalas panggilannya.

Ia memutuskan untuk masuk, lalu membuka pintunya dengan perlahan. Ray mendapati kasur Vanza kosong melompong, tidak ada orang disana, dan selimutnya tidak tertata rapi. Hal yang aneh dimata Ray, karena mengingat kakaknya adalah pribadi yang rapi dalam segala hal. Pasti ia selalu membereskan kamarnya pergi kemana-mana.

"RAY! LO SEKOLAH APA ENGGAK NJ*NG CEPET KELUAR!" suara jeritan keras dari luar, dengan kata-kata kasar yang sangat tidak asing di telinga Ray, hal itu langsung membuatnya berjalan keluar.

Saat Ray berdiri di ambang pintu, suara gadis itu menyambar garang lagi, "Ya ampun, lo itu buta ya?! Jam berapa ini? Dan lo masih pake piyama?"

Ray mengucek-ucek matanya. Laki-laki itu masih mengantuk, ia menjawab sesudah menguap singkat. "Apaan sih?"

"Lo gak sekolah apa?" tanya Claresa dengan nyolot sekali lagi.

Mendengar nada bicara Claressa itu membuat Ray kesal, pagi-pagi dirinya sudah di beri suara dengan nada yang tidak nyaman didengar telinga.

Tidak bisakah gadis itu berbicara baik-baik dengannya? Lagipula ia juga bukan tipe pribadi yang tidak bisa diajak berbicara, sampai harus di lempari dengan nada tak menyenangkan seperti itu.

"Lo ngapain sih nyolot gitu?! Risih tau nggak denger suara lo! Sekolah sendiri sana!"

Ray menutup pintu rumahnya dengan keras, tak peduli respon Claressa selanjutnya. Dan tanpa ia ketahui jika gadis itu merasa kesal, malu, dan kecewa.

*

Dio menyandarkan tubuhnya ke tembok, tangannya terlipat di depan dada lalu ia menarik napas panjang.

"Jadi kamu sudah bertemu dengan mereka lewat mimpi?" Vanza mengangguk pelan menanggapi pertanyaan dari Rafael. Namun pandangannya masih belum lepas untuk mengedari kamar yang asing itu.

Tiba-tiba di ambang pintu, terdapat dua orang lagi yang bergabung dalam keadaan membingungkan bagi Vanza ini. Vanza tidak kenal siapa orang-orang yang ada disekitarnya sekarang ini.

Lalu pandangannya menangkap keberadaan Ramiel, hanya perempuan itu yang dikenal Vanza disini, selain Dio. Ia nampak tak berubah saat terakhir kali mereka bertemu, walaupun itu sekian lama.

Ramiel berjalan menghampiri Vanza lalu menangkup wajah gadis itu."Vanza, kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya cemas. Diikuti dengan dengusan kesal dari Dio.

Vanza menarik seulas senyum simpul lalu menggeleng. "Aku tidak apa-apa."

"Jadi, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan dengannya?" tanya Mammon yang masih duduk di kursi dekat dengan ranjang.

"Kita harus melindungi gadis ini, karena dia adalah Empath yang benar-benar di datangi oleh Luka dan Luksa."

"Kalau membicarakan tentang melindungi? Apa kau tidak merasa harus menyingkirkan keberadaannya?" Uriel menimpali, sambil menunjuk Dio dengan dagunya.

Dio mengubah posisi nya menjadi berdiri tegak. "Berbicara tentang menyingkirkan, apa kau tidak merasa bila harus menyingkirkan Lucifer juga?"

"Kenapa kau bisa sepercaya diri itu, dan dengan mudahnya menuduh saudaraku?" tanya Leviathan, ia tak berhenti menatap Dio dengan tajam.

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang