[09] Help

305 53 4
                                    

Setelah sekumpulan warga yang dipenuhi kekesalan itu bubar meninggalkan rumahnya dengan suara yang masih berdesas-desus tentang adiknya itu, Vanza mulai merasa tidak enak.

Sedari tadi, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak bosa mendampingi adiknya disana, Ray yang ada disana juga hanya banyak diam, tak bisa membalas makian Pria yang dulunya tetangga, sekaligus teman dekat mendiang Papanya-Martin.

Ia menutup, lalu mengunci ganda pintu depan rumahnya. Ray sudah masuk ke kamar sesaat setelah warga bubar, adiknya itu tampak sedang mengalami stress berat. Vanza tahu masalah ini tidak seharusnya di limpahkan pada Ray, entah kenapa ia merasa bersalah.

Vanza berjalan membuka pintu kamar Ray dan mendapatinya duduk di depan makanan yang dibawakan Vanza tadi dengan tatapan kosong. Tangannya memainkan isi makanan itu, tapi matanya tidak memusat ke sana.

"Ray," panggil Vanza lirih.

Seperti tercengang sesaat. Ray terkejut dengan panggilan Vanza, ia bahkan tidak menyadari sedari-tadi Vanza di ambang pintu memandangi dirinya dengan tatapan cemas.

Vanza menghampiri Ray, lalu duduk di sebelahnya. Ia mengelus kepala Ray dengan lembut, ia tidak pernah tahu masalah yang berkaitan kemampuan adiknya akan sampai seperti ini. Bisa saja kehidupan adiknya yang selanjutnya akan terancam.

Ray memeluk erat Vanza, ia merasa tidak mau melepaskan pelukan pada kakaknya dalam waktu yang dekat, karena posisi itu membuatnya sangat nyaman. Masalah yang ia punya serasa hilang sekejap dan hidupnya terasa ringan saat berada di dekapan kakaknya.

Hangat.

Nyaman.

Rasanya ia ingin merasakan perasaan itu selamanya. Pikirannya yang penuh dengan beban, seketika langsung sepenuhnya hilang di pelukan Vanza. Ia sampai tidak sadar beberapa tetes air matanya telah jatuh dan meninggalkan jejak di pipinya.

Vanza masih saja mengusap rambutnya dengan lembut sambil balas memeluknya dengan erat.

*

5 days later...


Sudah 5 hari sejak kejadian hari itu yang membuat Ray murung terjadi. Tapi Ray masih saja belum bisa melupakannya, saat Vanza mengantarkan makanan ke kamarnya yang ia lakukan hanya berbaring di atas kasur, tapi matanya menatap langit-langit kamar. Tatapan kosongnya pada sesuatu, dan ia bicara pada makhluk yang tidak bisa Vanza lihat.

Sudah lama Vanza prihatin dengan keadaan adiknya sejak dulu. Tapi tidak ada yang membuat Ray depresi sampai seperti ini. Sampai ia tidak masuk ke sekolahnya beberapa hari dan tidak makan jika tidak Vanza paksa atau Vanza suapi. Vanza khawatir jika adiknya akan seperti ini berterusan dan akan mengancam kehidupannya selanjutnya.

"HAH LO MAU KE DUKUN? YANG BENER AJA!" pekik Aletta heboh saat mendengar pengakuan Vanza setelah ia dan Alex memaksa ia mengatakan kemana tujuannya.

Alex membungkam mulut Aletta, dan membuat gadis itu memberontak dengan kesal. Aletta mencubit tangan Alex dan membuat bungkaman itu lepas.

"Vanza, yang bener aja. Selama yang gue tau lu itu dieeeeeeem banget. Tiba-tiba mau ke dukun? What happen?" Alex masih mengelus tangannya dimana tempat bekas cubitan Aletta berada.

"Kalau lo suka sama cowok, gua sama Alex bakal bantuin lo. Jadi gak perlu pergi ke tempat terlarang itu. "

Vanza menggeleng. Ia juga merasa malu saat kedua temannya itu berprasangka ia akan menggunakan guna-guna untuk menarik seorang laki-laki.

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang