[43] End Of All

191 26 0
                                    

Ray merasa sesuatu sedang bergerak pada tangannya, ia menoleh dan langsung sumringah saat tahu tangan Vanza yang digenggamnya bergerak.

Vanza mengerjap-ngerjap, matanya perlahan terbuka dan langsung dihiasi oleh pemandangan langit-langit rumah sakit. Bau obat-obatan menyengat indra penciuman.

Walau sebenarnya Vanza sedang menggunakan alat bantu pernapasan.

Sebelum bangun, ia sempat merasakan cahaya dan kegelapan menelannya bersama-sama, dan tahu-tahu ia sudah tergeletak lemah di ranjang rumah sakit dengan Ray, Claressa, Deru, Leviathan dan Mammon disana.

Ada satu hal yang membuatnya mengernyit. Dimana Dio?-atau lebih tepatnya, dimana Lazarus?

Tiba-tiba Ray membulatkan matanya setelah menatap Kakaknya secara intens. "Kakak, apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba tanggal kematian kakak muncul?" suaranya menegang.

Semua yang ada di sana terkejut. Bahkan Mammon dan Leviathan yang hadir dalam sidang barusan. Mereka tak menyangka Vanza akan pergi secepat ini, mereka mengira masih ada jangka waktu untuk Vanza melihat Ray ataupun berkumpul bersama mereka kembali.

Vanza terkekeh pelan. Ia hampir lupa dengan kemampuan adiknya yang bisa melihat kapan kematian seseorang. Itu karena sudah lama Ray tidak membicarakan kemampuan itu.

"Ray," panggil Vanza dengan suara paraunya. Tangan kanannya lepas dari genggaman Ray dan menangkup sebelah pipi adiknya itu. "Kamu masih mau jadi Indigo? Atau kamu gak mau lagi lihat hantu? Itu bisa hilang."

Ray menggeleng kencang, ia kembali menggenggam tangan Vanza yang kini bertengger menempel di pipinya. "Deru udah cerita semuanya, kakak gak boleh pergi. Kakak gak boleh relain jiwa kakak gitu aja ke Dio buat hilangin kemapuan Ray! Ray gak mau.

"Dan Dio, dia jahat! Dia Iblis, kenapa kakak bohong sama Ray kalau dia itu bukan manusia?!" nada suara Ray naik beberapa oktaf, dari biasa berubah menjadi terdengar seperti sedang membentak. Sebelumnya ia tidak pernah berbicara seperti itu pada Vanza.

Vanza malah tersenyum simpul. "Kakak gak bohong, kakak cuma belum memberi tahu yang sebenarnya. Emang kakak pernah kasih tahu ke kamu kalau Dio itu manusia? Enggak, kan?"

Claressa menyergah, "Jangan pergi, kakak rela ninggalin Ray sendirian disini?"

Vanza menggeleng pelan, pelupuknya mengeluarkan cairan bening yang tidak bisa ia tahan untuk keluar. "Tapi Ray bisa hidup sendiri. Yah, dia bisa." Gelengan itu berubah menjadi anggukan mantap.

"GAK! RAY GAK BISA HIDUP KALO GAK ADA KAKAK YANG NEMENIN?! Kenapa? Kenapa? KENAPA KAKAK HARUS PERGI?!"

Suasana disana menjadi sunyi, Ray ikut menangis. Ia memajukan kepalanya, membuat dahinya bersentuhan dengan pelipis Vanza, ia memejamkan mata menahan tangisan. Tapi ia tak kuasa, air mata bening itu tetap merembes keluar.

"Kamu gak akan kenapa-napa. Minta penjelasan ke Mammon dan Leviathan. Mereka akan jawab, ya?"

Ray menggeleng. "Kakak jangan pergi," pintanya lirih, suaranya lemah, ia rapuh.

"Kakak sayang kamu."

Pelan tapi pasti, suara tulus Vanza langsung di tangkap oleh Ray. Tiba-tiba Ray merasa aneh, tidak ada lagi getaran di tubuh Vanza yang menandakan ia bernapas ataupun menahan tangisan.

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang