[30] Ice

155 24 1
                                    

Dio menutup pintu kamar dengan perlahan, takut jika gerakannya dapat menganggu seseorang yang sedang beristirahat di dalam sana.


Ia berjalan masuk dan menuju ke kasur lalu duduk di tepinya. Iris segelap obsidiannya menatap intens Ray yang tertidur disana.

Tanpa ia sadari tangannya bergerak dengan sendirinya mengelus rambut laki-laki itu sambil mengulas tersenyum tipis. Seakan-akan ia tahu bagaimana rasanya menjalani sehari hari hidup seperti Ray, pasti itu berat bagi laki-laki itu.

"Ngapain?" tiba-tiba sebuah suara membuat Dio spontan menarik tangannya yang tadinya mengelus rambut Ray.

"Lo homo apa? Elus-elus rambut gue," ketus Ray dingin, lalu sedetik kemudian ia tertawa geli sambil mengubah posisinya menjadi duduk.

Dio memasang wajah datar seperti biasanya, sambil menatap seseorang yang sedang menertawai dirinya di hadapannya sekarang.

"Sebenernya, gue kenapa sih?"

"Hm?" Dio mengangkat sebelah alisnya saat Ray tiba-tiba mengajukan pertanyaan seperti itu.

"Iya, gue ini aneh. Kenapa hidup gue gak bisa kayak anak-anak lainnya? Gue juga mau hidup bahagia sama Kakak, Mama dan Papa."

Ray terdiam sejenak sebelum melanjutkan, Dio juga belum berniat menyahuti. "Kenapa gue harus menjalani hidup kaya gini? Iya gue tau gue udah janji sama Kakak buat gak ungkit masalah ini lagi, tapi lo pasti tau gimana jadi gue, dan itu terbukti pada lo. Gue gak tau lo itu punya kepribadian atau kemampuan yang kaya gimana, tapi gue yakin kalau lo ngerasain hal yang sama kaya gue."

Dio mengangguk. "Kau benar, tapi ada hal yang tidak kau sadari dibalik susahnya hidupmu."

"Apa?"

"Kau masih punya Vanza dan temanmu di sekolah. Sementara diriku?" Dio terkekeh. "Aku seperti seorang pengembara dari sebuah tempat asing dan tak punya tujuan hidup."

Ray menatap lekat-lekat Dio, yang juga sedang menatapnya. Mungkin benar, ia terlalu banyak menyesali daripada bersyukur dengan apa yang telah ia dapatkan dari hidupnya.

Ray tersenyim tipis. "Tapi setidaknya. Sekarang ada Kakak disisimu, bukan?"

"Yes. But unfortunately, maybe it's not for long."

"Maksudnya?"

Dio beranjak keluar. Sebelum ia membuka pintu kamar, ia menyempatkan menoleh dan menyeringai. "You'll know later."

Ia membuka pintu lalu berjalan keluar dari kamar Ray, membuat Mammon yang tadinya hendak bicara langsung diam melihatnya keluar dengan wajah menyeringai.

"Ada apa denganmu?" tanya Mammon heran.

Vanza yang mendengar Mammon melontarkan pertanyaan, ikut menoleh ke arah siapa lawan bicara Mammon saat ini.

Dio tak menggubris pertanyaan Mammon. Ia mengubah raut wajahnya menjadi kembali datar.

"Aku akan pergi. Kau tetap disini atau—?"

Mammon menggeleng tidak setuju. "I follow you, dear."

Dio bergidik geli mendengar panggilan dari Mammon itu. "Kau sudah gila."

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang