Bab 3

16.2K 1K 20
                                    

Arsen memarkir motornya di tempat parkir SMA Nusantara, tempatnya bersekolah sekarang ini. Hari ini dia terlambat. Namun, dengan mudah dia bisa masuk dan menyogok satpam sekolahnya, Pak Dadang.

Hanya dengan selembaran uang berwarna merah dia bisa langsung masuk. Ya. Lebih baik mengeluarkan uang 100 ribu rupiah daripada harus merelakan kupingnya pengang karena diceramahi oleh guru piket.

"Tok, tok, tok!" Pintu kelas yang sedari tadi memang sudah terbuka lebar tiba-tiba diketuk oleh Arsen. Rupanya anak yang satu ini masih sedikit mengerti sopan santun juga.

Mengetuk pintu sebelum masuk. Sontak semua orang -para siswa dan seorang guru muda- yang ada di kelas itu jadi mengarahkan pandangan mereka ke arah munculnya suara ketukan pintu itu.

Begitu semua orang yang berada di kelas itu melihat ke arah pintu, mereka pun melihat sesosok murid yang penampilannya sangat berantakan.

Mukanya sangat lusuh dan kucel. Sementara, rambutnya juga berantakan dan acak-acakan. Selain itu, kemeja putihnya tidak dimasukkan ke dalam seperti murid-murid lainnya. Bajunya dikeluarkan begitu saja. Dan walaupun dia adalah anak orang kaya dan punya banyak uang, tetapi tetap saja dia memakai sepatu yang bolong dan robek.

Ya, penampilannya sangat berantakan. Seperti hidupnya yang juga berantakan. Sayang sekali. Padahal Arsen terbilang cukup tampan dengan alisnya yang tebal, mata yang bulat, bola matanya yang berwarna hitam pekat, kulitnya yang putih, dan tubuh yang proporsional.

Tetapi, ketampanannya itu tidak terlihat dan tertutupi oleh berbagai sifat buruk yang melekat pada dirinya.

"Oooh.... Rupanya ada tuan besar yang baru saja datang." Sindir bu Sita, guru sosiologi yang juga merangkap menjadi wali kelas Arsen di kelas 11 IPS 1.

"Hmm... Kenapa kira-kira anda selalu terlambat? Apa tadi malam anda baru lembur kerja? Atau mungkin anda bergadang untuk nonton bola?" Tanya Bu Sita dengan wajah serius.

Walaupun usianya masih terbilang muda, tapi sikap dan karisma guru yang satu ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Para murid pun hanya bisa memandangi guru dan murid itu tanpa banyak komentar. Tidak ada yang berani bicara, apalagi tertawa. Mereka ngeri.

"Saya kesiangan bu." Jawab Arsen dengan nada cuek, seperti biasanya.

"Ya, ya, ya, lagi-lagi kesiangan. Gak sekalian aja kesorean." Sindir bu Sita lagi.

"Besok-besok, Ibu gak akan mau dengar alasan kesiangan lagi. Cari alasan yang lebih kreatif. Sekarang, cepat duduk di tempat kamu!" Ucap Bu Sita dengan tegas.

Arsen pun segera mengikuti perintah bu Sita dan melangkah ke tempat duduknya yang berada di pojok kanan ruang kelas, tepat di barisan kedua dari belakang.

"Ehem! Arsen!" Tiba-tiba bu Sita berdeham dan memanggil Arsen.

Arsen pun menoleh dengan wajah merengut. Dia tahu kalau kali ini pasti bu Sita ingin mengomentari penampilannya.

"Ada apa lagi, Bu? Hmm... Pasti kali ini mau ngomentarin baju dan penampilan saya yang acak-acakan ini ya, Bu?" Tanya Arsen mencoba tebak-tebakan dengan gurunya sambil mesem-mesem gak jelas mencoba meledek gurunya.

"Ckckck..." Bu Sita mendecakkan lidahnya.

"Kamu tahu kalau Ibu akan mengomentari penampilan kamu yang GAK LAZIM seperti ini. Kalau kamu sudah tahu Ibu akan mengomentari kamu, kenapa masih saja berpakaian dengan gaya acak-acakan seperti ini?" Tanya Bu Sita dengan nada yang agak kesal.

Tentunya bu Sita menjadi kesal karena walaupun Arsen sudah diomeli setiap hari, kelakuannya tetap tidak berubah dan dia selalu saja dimarahi untuk hal yang sama setiap harinya.

"Iya Bu. Iya. Saya ngerti. Tadi kan saya buru-buru Bu. Jadi gak sempet pakai baju dengan tertib dan rapi. Ini saya udah mandi aja udah bagus, Bu! Tadi hampir aja saya gak mandi saking telatnya. Tapi demi kenyamanan kelas, saya bela-belain mandi dan alhasil jadi terlambat gini deh, Bu."

Ucapan Arsen itu sontak membuat beberapa anak tidak tahan untuk tidak meyemburatkan senyum geli di wajah mereka. Sementara itu, bu Sita kini malahan memelototi Arsen dan nampak lebih kesal lagi akibat mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Arsen.

"Iya, Bu. Maaf Bu, maaf. Jangan melototin saya terus gitu dong, Bu. Saya jadi malu" Lagi-lagi Arsen meledek bu Sita.

Bu Sita menghembuskan napas panjang. Dia nampak kesal, tapi dia sudah begitu lelah mengomeli anak yang satu ini.

"Ya sudah! Sudah! Sekarang cepat duduk! Saya tidak mau berdebat lagi dengan kamu!" Ucap bu Sita yang nampaknya sudah menyerah dan tidak mau menanggapi ucapan Arsen lagi.

Sebenarnya, Bu Sita sudah terlalu baik dengan sikapnya yang seperti itu. Guru-guru lain pasti akan dengan tegas menghukum muridnya yang terlambat dan selalu bersikap seenaknya seperti itu.

Namun, sebagai wali kelas Arsen, bu Sita tahu betul keadaan anak didiknya itu. Dia benar-benar lain dari anak-anak lainnya. Sudah mau masuk sekolah saja sudah bagus. Bu Sita tidak ingin semakin mempersulit keadaannya.

Bu Sita yakin kalau anak seperti Arsen harus diperlakukan dengan cara yang halus agar dia bisa berubah menjadi lebih baik.

*****

Jangan lupa vote, follow, sama komentar yaa

-XOXO

[END] Blind RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang