Bab 36

6.2K 385 6
                                        

Pagi hari di hari kelima Arsen diopname!

Adit duduk di kursi yang terletak di sisi kanan tempat tidur Arsen. Sementara itu, Arsen duduk berselonjor di tempat tidurnya. Mereka berdua saling berhadapan dan beradu pandang satu sama lain.

Kelihatannya, ada sesuatu yang serius yang ingin dibicarakan Adit saat itu. Hal ini dapat terlihat jelas dari sorot matanya yang memandangi bola mata hitam Arsen dengan tatapan yang tajam.

"Lo tidur lama banget, Sen. Gak bangun-bangun. Nyokap, bokap, dan juga gue udah berhari-hari nungguin lo di sini. Terima kasih karena lo udah mau sadar dan bangun."

Arsen tersenyum kepada Adit. Mungkin itu adalah senyum teramat tulus yang pertama kali dilihat oleh Adit dari diri seorang Arsen.

"Gue yang seharusnya berterima kasih, Dit. Lo, nyokap, dan bokap udah mau nemenin gue di sini. Gue sangat berterima kasih untuk semua itu."

Adit memandangi Arsen dengan mata yang berkaca-kaca. Di satu sisi dia senang karena Arsen sudah bersikap baik sekarang ini. Namun, di sisi lain dia juga sedih karena dia dan keluarganya kini benar-benar telah mengetahui kondisi Arsen yang sebenarnya.

"Nyokap nangis terus begitu tahu keadaan lo yang sebenarnya. Dokter udah bilang semuanya tentang kondisi lo. Sebenarnya, sejak kapan lo sakit kayak gini, Sen? Dan kenapa lo gak pernah ngasih tahu siapapun tentang penyakit lo ini?"

Tiba-tiba Adit menanyakan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin diungkit lagi oleh Arsen.

Arsen menghela napasnya. Dia terlihat sangat sulit untuk membahas segala hal yang berhubungan dengan penyakitnya itu.

"Gue juga gak tahu, Dit. Semuanya terjadi begitu aja. Gue pikir selama ini gue baik-baik aja. Tapi ternyata enggak. Kata dokter, sekarang ini leukemia gue udah akut."

"Kenapa harus lo sih?" Desis Adit.

"Kenapa dari banyak orang yang ada di dunia ini, lo yang terpilih untuk dapet penyakit ini?" Keluh Adit seakan tidak terima dengan kenyataan yang terjadi.

"Ini takdir, Dit. Emang udah takdirnya kayak gini."

"Iya. Gue tahu kalau penyakit ini adalah salah satu bagian dari takdir lo. Tapi, gue juga yakin kalau bisa sembuh dari penyakit ini juga termasuk salah satu dari takdir lo, Sen. Asalkan lo terus kemoterapi, gue yakin kalau lo pasti bisa sembuh." Ucap Adit berusaha meyakinkan Arsen.

"Percuma, Dit. Gue ini udah sekarat. Udah gak bisa sembuh lagi. Jadi, tolong jangan paksa gue untuk ikut kemoterapi." Ucap Arsen lirih.

"Tapi, Sen..."

Belum selesai Adit menyelesaikan ucapannya, Arsen sudah menyelanya.

"Gue cuma pingin menghabiskan sisa waktu yang mungkin gak lama lagi ini untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Gue mau menghabiskan sisa-sisa hari gue untuk ngelakuin apa yang belum pernah gue lakuin sebelumnya.

"Kumpul sama keluarga, bercanda sama teman-teman, dan hal-hal menyenangkan lainnya yang belum pernah gue dapetin dulu. Jadi, gue gak mau menghabiskan sisa waktu gue ini untuk kemoterapi."

Hati Adit terenyuh mendengar ucapan adiknya seakan ada jarum yang sedang menusuk-nusuk jantungnya saat itu juga. Dirinya sendiri sangat sadar kalau leukemia akut memanglah penyakit yang mungkin sangat sulit untuk disembuhkan dan memaksa Arsen untuk kemoterapi sepertinya bukanlah hal yang benar.

Adit masih terpaku dalam diam menatapi Arsen penuh makna. Sementara itu, Arsen terus berbicara meyakinkan Adit kalau pilihannya itu adalah pilihan yang benar.

"Hidup dan mati seseorang itu adalah kuasa Tuhan. Kita gak akan pernah bisa nentuin hidup kita sendiri karena ada Tuhan yang selalu memberikan takdir untuk kita semua. Jadi, bukan berarti kalau gue ikut kemoterapi, gue lantas bakal sembuh dan hidup 100 tahun lagi." Arsen pun menghela napasnya lagi.

[END] Blind RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang