Bab 30

5.8K 389 4
                                    

Dengan langkah gontai, Arsen melangkah masuk ke dalam ruang periksa yang tadi pagi ia datangi. Sontak Dokter Banu yang tadi pagi memeriksanya pun langsung menyambut Arsen dengan ramah.

Dia pun mempersilakan Arsen untuk duduk. Setelah Arsen sudah duduk tepat di hadapan Dokter Banu, maka kini saatnya dia mendengar hasil diagnosa penyakit dari pemeriksaan darah yang tadi dilakukan olehnya.

"Dokter, jadi bagaimana hasilnya?" Tanya Arsen mengawali pembicaraan terlebih dahulu.

"Dengan kondisi kamu yang sekarang ini, kamu harus dirawat di rumah sakit dan menjalani perawatan di sini." Ucap dokter itu dengan tenang.

"Dokter, sebenarnya saya sakit apa? Kenapa saya harus dirawat di rumah sakit?"

"Hmm..." Dokter itu pun menarik napas perlahan.

"Orang tua kamu harus ke sini dan berbicara dengan saya mengenai penyakit kamu."

"Dokter!" Kali ini Arsen memanggil dokter itu dengan suara yang tegas.

Arsen pun menatap Dokter Banu dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Saya dan dokter yang harus bicara mengenai penyakit saya. Bukan orang tua saya yang sakit, Dok. Tapi saya yang sakit." Arsen mengembuskan napasnya dengan berat.

"Jadi, sebenarnya apa penyakit saya, Dok?"

Kali ini Dokter Banu benar-benar tidak bisa lagi menundanya. Dia harus segera memberitahu keadaan yang sebenarnya kepada Arsen. Dia tidak ingin membohongi anak ini dan membiarkan anak di hadapannya ini tersiksa karena berbagai pertanyaan dan kebingungan yang terus menghantui dirinya sendiri.

*****

Sore itu Adit memainkan piano berwarna putih yang diletakkan di sudut ruang keluarga. Jemarinya asyik menekan tuts piano, memainkan lagu Somewhere Over The Rainbow dengan nada-nada yang mengalun merdu dan indah. Permainan piano dari Adit semakin menambah suasana menenangkan dan menentramkan hati di sore hari yang cukup cerah itu.

Tiba-tiba Arsen membuka pintu rumah. Dia masuk ke dalam rumah tanpa menutup lagi pintu rumah yang tadi telah dibukanya. Kemudian, dia pun berjalan dengan langkah kasar dan tergesa-gesa menuju kamarnya yang ada di lantai dua.

Saat Arsen berjalan menuju tangga yang berada tepat di depan ruang keluarga, tentu saja Adit yang sedang memainkan piano di ruang keluarga dengan jelas dapat melihatnya. Tanpa menghentikan permainan pianonya, Adit memperhatikan Arsen dari balik piano putih itu.

Dia bisa melihat raut wajah Arsenyang pucat pasi dan nampak tidak sehat. Dia juga bisa melihat langkah kaki Arsen yang nampak seperti orang sedang marah.

Setelah melihat kondisi Arsen itu, sontak dia menghentikan permainan pianonya. Dia ingin menghampiri Arsen dan menanyakan tentang kondisinya, namun Arsensudah keburu berlalu dari hadapannya dan naik ke lantai dua.

"BRAAAK!"

Suara bantingan pintu yang berasal dari lantai dua itu tentu saja terdengar jelas sampai ke lantai satu. Apalagi suasana memang sedang sangat hening saat itu karena Adit telah menghentikan permainan pianonya.

Sontak Adit menjadi kaget akibat suara bantingan pintu yang begitu keras itu. Dia pun mendongakkan kepalanya ke atas karena dia tahu suara bantingan pintu itu pasti berasal dari pintu kamar Arsen.

Dia menduga kalau ada sesuatu yang tidak beres pada diri adiknya itu. Entah apa hal yang tidak beres itu, yang jelas dia pasti akan mencari tahu tentang hal itu.

********

Arsen menyandarkan dirinya pada pintu kamar yang tadi dibantingnya. Dia bersandar pada pintu itu dan perlahan demi perlahan dia biarkan dirinya meluruh jatuh ke bawah. Dia tidak memedulikan rasa sakit saat punggungnya bergesekan dengan sisi pintu kayu kamarnya itu karena yang dia rasakan saat ini jauh lebih sakit lagi daripada itu.

Rasanya benar-benar sangat sakit sehingga membuatnya sulit bernafas. Dirinya bukan hanya sakit fisik, tapi lebih dari itu batinnya lebih sakit lagi.

Dia jatuh terduduk di atas lantai kamarnya dan kemudian tanpa sadar dia menitikkan air mata. Satu tetes air mata itu menjadi pertanda bahwa dirinya benar-benar tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang dideritanya sekarang ini.

"Tok! Tok! Tok!" Terdengar suara pintu kamar Arsen diketuk pelan dari arah luar kamarArsen.

"Arsen, ini gue Adit. Tolong buka pintunya, Sen!" Ucap Adit dari luar kamar Arsen.

Tentu sajaArsen dapat dengan jelas mendengar suara Adit, namun dia tidak berniat untuk memedulikan Adit sama sekali. Saat pikirannya sedang baik saja, dia tidak mau memedulikannya. Apalagi saat pikirannya sedang kacau seperti saat ini, dia lebih lagi tidak akan memedulikannya.

"Gue mohon, Sen, izinin gue masuk sebentar. Kenapa sih lo? Kalau ada masalah ya bilang. Jangan lo simpan sendiri." Ucap Adit sambil terus berusaha mengetuk-ngetuk pintu kamar Arsen.

"Gue tahu lo benci sama gue, tapi mau sampai kapan lo benci sama gue? Apa lo mau membenci gue seumur hidup lo? Apa sampai mati pun lo gak akan pernah maafin gue?" Ucap Adit lagi.

Jlepp. Perkataan Adit tadi serasa menusuk jantung Arsen. Dia benar-benar tidak bisa berkata apapun lagi untuk menanggapi perkataan itu.

Ya, mungkin sampai mati pun Arsen tidak akan rela memaafkan Adit. Sudah terlanjur. Biarkan saja semua berjalan seperti ini. Tidak perlu ada yang berubah.

Mungkin takdir yang telah mengatur semua ini, sehingga dirinya memang tidak diizinkan untuk berubah menjadi baik. Sekarang ini memang sudah terlambat. Maka biarkan saja semuanya berjalan seperti yang dikehendaki oleh takdir.

Dan tidak ada jawaban, ucapan, atau perkataan apapun dari dalam kamar itu. Sementara pintu kamar itu sendiri tidak kunjung terbuka. Adit lelah. Dia benar-benar lelah. Rasanya lelah sekali meyakinkan adiknya itu kalau dia memang benar-benar bisa hadir dan menjadi kakak yang baik untuk dirinya.

Di satu sisi, Adit sangat sadar kalau dirinya memang salah karena dia tidak pernah ada untuk adiknya selama bertahun-tahun ini. Namun, di sisi lain dia juga sudah merasa benar-benar lelah.

"Hhhh!"

Adit menghela napas sejenak dan kemudian langsung mengembuskan napasnya itu. Suara hembusan napas itu terdengar sangat berat. Mungkin embusan napas itu adalah salah satu ekspresi kelelahannya menghadapi Arsenselama ini.

Kemudian, saking lelahnya dia pun bersandar pada pintu kamar Arsendan dia juga membiarkan dirinya meluruh jatuh terduduk ke bawah. Kini mereka berdua terduduk di bawah dengan bersandar pada pintu kamar itu.

Sebenarnya, mereka sudah duduk bersisian satu sama lain, namun mereka dibatasi oleh suatu pembatas berupa pintu kamar yang membuat mereka tidak bisa berkomunikasi satu sama lain. Hal ini benar-benar mencerminkan keadaan mereka saat ini.

Mereka memang sedarah dan bersaudara, namun selama ini mereka tidak bisa berkomunikasi karena mereka berdua telah terpisahkan akibat perceraian kedua orang tua mereka. Perceraian itu menjadi dinding pemisah tidak kasat mata yang selama ini telah memisahkan mereka berdua.

*****

Jangan lupa vote, follow, sama komentar

-XOXO

[END] Blind RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang