Bu Mira melongok ke sana ke sini. Wanita berusia lima puluh tahunan yang seumur hidupnya mengurusi panti asuhan "Kasih Ibu" itu nampaknya sedang berusaha mencari seseorang.
"Angi!" Tiba-tiba bu Mira memanggil Pelangi yang sedang berjalan selangkah demi selangkah. Angi adalah nama panggilan Pelangi. Dia biasa dipanggil seperti itu oleh orang-orang di sekelilingnya.
Pelangi tahu betul suara siapa itu. Dia kemudian berjalan ke arah suara tersebut berasal. Selangkah demi selangkah. Kedua tangannya dijulurkan ke depan. Tangannya berusaha meraba-raba. Dia sedang mencari-cari badan ibu Mira.
"Ibu! Kenapa Ibu nyariin Angi?" Tanya Pelangi saat dia sudah berhasil memegang pundak ibu Mira.
"Ibu khawatir sekali sama kamu. Tadi kan kamu gak bawa tongkat bantu berjalan. Jadi, ibu khawatir terjadi sesuatu sama kamu. Apa kamu tadi nabrak-nabrak sesuatu?" Tanya bu Mira dengan nada cemas.
"Enggak kok bu. Saya gak apa-apa. Saya gak nabrak. Ibu gak usah terlalu khawatir." Kata Pelangi berusaha menenangkan bu Mira.
"Maafin Ibu ya, Ngi. Ibu belum bisa beliin tongkat yang baru untuk kamu. Untuk bayaran sekolah adik-adik kamu aja masih nunggak. Kamu doakan saja mudah-mudahan ada banyak penyumbang untuk panti asuhan kita dalam waktu dekat ini." Kata bu Mira lembut sambil mengelus rambut Pelangi.
"Gak apa-apa kok, Bu. Lagian di jalan tadi juga banyak orang yang bantuin Pelangi. Jadi, Ibu gak usah khawatir." Seru Pelangi lagi.
*****
Arsen membuka mata. Dia melihat ke arah jam dinding berbentuk gitar berwarna merah yang ada di dalam kamarnya. Sudah jam 6 sore lewat 15 menit saat itu. Tak terasa, Arsen telah tertidur sangat lama terhitung semenjak dia pulang siang tadi.
Arsen pun meregangkan tubuhnya sesaat setelah dia terbangun. Entah kenapa kepalanya malah bertambah pusing saat ini. Mungkin karena dia tidur terlalu lama.
"Ehem! Ehem!" Dia pun kemudian berdeham-deham dan merasakan kalau tenggorokannya sangat kering.
Rasanya Arsen haus sekali setelah tidur sekian lamanya. Dia pun segera pergi dari kamarnya yang berada di lantai dua menuju ke dapur yang berada di lantai satu untuk meminum air putih.
Saat sudah sampai di depan kulkas yang berwarna merah, dia langsung membuka pintu kulkas itu dan kemudian mengambil sebotol air mineral dingin. Setelah itu, dia pun meneguk air mineral itu langsung dari botolnya.
"Glek, glek, glek!" Terdengar suara Arsen meneguk air itu dengan sangat cepat. Nampaknya dia memang benar-benar haus. Satu botol air pun langsung habis diminumnya hanya dalam waktu beberapa detik.
"Lo bisa minggir gak? Gue juga mau ambil minuman." Seru seseorang yang tiba-tiba menyuruh Arsen minggir dari depan kulkas saat dia sedang menikmati minumannya.
Arsen pun menoleh ke arah suara yang terdengar tidak familiar di telinganya. Dia belum pernah mendengar suara itu sebelumnya.
"Hah? Lo ini siapa?" Tanya Arsen kepada seseorang berkacamata yang wajahnya belum pernah dia lihat sebelumnya.
"Lo udah gak inget gue ya, Sen? Beneran udah gak inget?" Ucap orang itu yang malah bertanya balik.
"Enggak. Gue gak tahu. Siapa lo? Ngapain lo di rumah gue?" Tanya Arsen dengan kasar. Dia nampak tidak suka dengan seseorang yang sok akrab ini.
"Gue Aditya Angkasa. Kakak lo sendiri. Sudah lama ya kita gak ketemu. Lo udah banyak berubah, Sen. Sekarang lo tambah tinggi." Seru orang itu sambil tersenyum ke arah Arsen dan menepuk-nepuk bahu Arsen.
Namun, Arsen tidak membalas senyuman itu. Dia acuh. Kini Arsen malah memandangi kakaknya dengan tatapan mata penuh benci dan langsung menyingkirkan tangan kakaknya itu dari pundaknya.
*****
Kini Arsen dan kakaknya sudah berada di ruang keluarga yang nampak indah. Seluruh dinding ruang keluarga itu dicat dengan cat berwarna putih.
Mereka berdua pun duduk di sebuah sofa empuk yang juga berwana putih. Di depan mereka berdua ada sebuah televisi layar datar dengan ukuran yang cukup besar. Di belakang televisi itu, ada sebuah pintu geser yang terbuat dari kaca.
Karena pintu itu terbuat dari kaca, mereka berdua bisa langsung memandang halaman belakang rumah yang ada di balik pintu kaca tersebut. Sementara itu, di pojok ruangan terdapat piano berwarna putih yang semakin menambah keindahan ruang keluarga tersebut.
"Wah, udah lama gue gak tinggal di sini. Ternyata rumah ini tambah bagus ya." Kata Adit memulai pembicaraan dan sedikit berbasa-basi.
Arsen hanya diam. Acuh. Tidak peduli dengan perkataan Adit.
"Bagaimana kabar lo, Sen?" Tanya Adit yang nampaknya sudah memulai membicarakan topik yang sebenarnya. Menanyakan kabar seorang adik yang sudah lama tidak dia jumpai.
"Kabar gue buruk. Dan semakin buruk lagi karena tiba-tiba sekarang lo muncul di hadapan gue. Ngapain lo balik ke Indonesia?" Ucap Arsen ketus.
"Gue kangen sama mama dan juga sama lo. Sejak umur 9 tahun kan gue udah tinggal bareng papa di Australia. Jadi, sekarang gue mutusin untuk tinggal di Indonesia bareng mama dan juga bareng lo. Gue akan nerusin SMA di sini dan mungkin gue juga akan lanjut kuliah di sini." Jelas Adit.
Arsen pun langsung menoleh lagi ke arah kakaknya itu dengan mata terbelalak. Dia kaget mendengar penjelasan kakaknya itu.
"Hah?! Lo gila apa?! Ngapain juga sih lo balik? Gak ada yang menginginkan lo di sini. Jadi, sebaiknya lo balik sana ke tempat asal lo!" Bentak Arsen kepada kakaknya.
"Ini tempat asal gue yang sebenarnya, Sen. Gue bakal tinggal di sini karena inilah tempat seharusnya gue berada." Ucap Adit tegas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali tinggal di rumah itu.
Arsen menyerah. Dia benci dengan kakaknya yang keras kepala itu. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mencegah keinginan Adit. Kini dia hanya bisa pasrah membayangkan hari-harinya yang akan semakin buruk lagi setelah kakaknya memutuskan untuk tinggal bersama dengan dirinya.
*******
Jangan lupa vote, follow, sama komentar
-XOXO
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Blind Rainbow
Teen Fiction[Teen Fiction] Follow dulu, baru dibaca. "Awal pertemuan kita bagai takdir. Antara aku dan dirimu seperti terikat oleh seutas benang tak kasat mata yang disebut kebetulan. Kita dengan semua perbedaan yang ada bertemu dalam keadaan tidak terduga. Da...