2

67.3K 2.8K 77
                                    


Jarak sekolah dari rumah nggak terlalu jauh. Kira-kira jalan kaki nggak nyampek 15 menit. Tapi.. meski nggak jauh, kalau gue berangkat jam segini ya pasti telat. Gue lirik lagi jam tangan, cih, kurang 10 menit lagi pintu gerbang ditutup. Sialan banget gue kudu nungguin Roy yang katanya Tante Yulia—Mamanya Roy – masih sarapan. Uh.. alamat lari muterin lapangan futsal 5 kali nih.

"Ayo!" ucap Roy yang jalan ngelewatin gue kemudian menuju garasi.

Gue ngekorin Roy, "lo tau nggak sekarang jam sekarang ?" pekik gue kesal.

Roy berhenti di depan motornya, dia balik badan kearah gue. "jam 7 kurang 7 menit." Kemudian melanjutkan memasang helm dan menaiki motor sportnya.

Gue melongo. Gue bakalan telat apa nggak nih ?

"kita nggak bakalan telat kalo lo sekarang naik." Ucap Roy dingin sambil menyodorkan helm.

Gue segera memasang helm dan kemudian naik motor. Roy dengan ahlinya meliuk-liuk di jalan kompleks yang jujur nggak terlalu ramai. Gue nggak tau kecepatan motor Roy, tapi yang pasti kami nyampek di sekolah Cuma 5 menit. Wow, terpujilah Cowok dan keahlianya.

Gue nggak mau banyak bacot kali ini, takutnya Roy mutilasi gue di parkiran. Manalagi sepi ini parkiran. Bisa aja Roy dan tangan kekarnya itu motong gue dengan cutter. Ih ngeri.

"ngapain lo bengong !" kayaknya ini bukan pertanyaan, karena ada nada membentak yang gue dengar dari mulut dingin Roy.

Gue sok iyes lalu turun. "siapa yang bengong! Ngarang lo kali!" dan gue ikutan ngebentak.

Entah kenapa gue sering banget terpengaruh sama Roy. Dari jenis makanan yang dia beli sampai jenis game yang sering Roy mainkan, gue selalu ngikutin. Yah selain gue ngintil pas dia jalan sama temennya atau liburan keluarganya. Kalau di luaran sana ada gosib gue itu buntutnya Roy, kalian harus percaya, karena pada kenyataanya gue selalu jadi buntutnya Roy.

"Ayo." Roy jalan duluan. Gue nunggu dia jauh baru ikutan jalan. Males aja kalau ada yang ngatain gue 'buntut yang nggak di harapin' atau 'sob buntut hidup'. Meski gue nggak ngelak, tapi kan gue juga manusia yang males aja kalau di gunjing. Apalagi nyamain gue pake nama makanan yang rasanya enak banget gitu, kan gue jadi lapar.

Gue jalan menuju kelas sambil dengerin lagu dari earphone. Nggak sadar gue malah nabrak sesuatu. Jidat gue sampe sakit nih, jangan sampe benjol dah.

"jalan pake mata." Suara dingin ini udah gue hapal dari 4 tahun silam.

Gue dongak kesal sambil mengangin jidat yang masih nyut-nyutan. Gimana nggak nyut-nyutan kalau gue nabrak dadanya manusia Es.

"mata gue ketinggalan." Kata gue yang ngehirauin manusia es dan masuk ke dalam kelas.

Gue duduk di sebelah cewek yang sedang tertidur lelap. Kalian boleh manggil dia Sansa. Nama panjangnya Shandra Salene. Namanya nggak ada yang enak diucap, dan entah dari mana panggilan Sansa itu tercipta, yang pasti cewek ini temen sebangku gue.

"nonton bokeb lo tadi malam ?"

Sansa menolehkan kepalanya dan tersenyum samar. Dugaan gue bener. Sansa ini penggila bokeb, entah itu dalam bentuk film, animasi, ataupun gift nya. Gue nggak pernah ngikut hobby sesatnya Sansa. Jijik aja kali liat orang nggak pake baju saling sentuh gitu. Ihh.

"Ad, lo udah ngerjain pr Fisika ?" tanya Sansa yang sekarang sudah duduk tegak sambil mengucek matanya.

"udah." Kedua alis gue naik bersamaan, "kenapa ?"

"nggak apa-apa," Sansa menguap, "kalau lo belum , gue contekin nih."

Gue muterin bola mata spontan. Okelah, anak pinter mah bebas nyontekin PR. Oh nggak , kita sebut saja Sansa ini jenius. Peringkat dia selalu salip-salipan sama Roy. Kalau nggak Roy yang peringkat satu, pasti ya Sansa yang peringkat satu. Kadang pernah tuh total nilai mereka sama, jadi ya sama-sama peringkat satu. Heran gue, dari kelas 10 kami selalu sekelas dan gue nggak pernah nyentuh peringkat sepuluh besar, sedangkan kedua temen gue juara satu terus.

ROY-ABLE - [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang