27

26.4K 1K 119
                                    

.
.
.

Dua menit milik John yang dia katakan tadi sudah kandas dengan pukulan bertubi-tubi dari gue. Bantal gue jadi alat paling mumpuni menghajar John, sampai sarung bantal gue lepas barulah gue berhenti dan menggantinya dengan buku paket yang tadinya ada di atas nakas.

John harus  dibunuh sebelum membicarakan soal bokeb lagi.

“Udah, Line. Udahhh!!” John udah merepet di pintu menghindari gue, “Lo mau bunuh gue pake bantal ileran punya lo itu ?”

“Gue pake buku paket sekarang!” balas gue.

“Udah cukup! Cukup! Badan gue belum sembuh bener, dan sekarang lo mau nambahin bonyok.” John mengelus punggungnya yang tadi sempat gue pukul dengan buku paket. “Arghtt... sakit tau nggak sih.”

“Sikap lo tadi brengsek banget tau nggak!” sergah gue marah dengan mata melotot.

Iya! gue emang beneran marah! John dengan kurang ajarnya nyium gue. Sedangkan gue sekarang ada hati yang harus dijaga, iya, hatinya Roy. Kalau gini gue keliatan kayak selingkuh tau nggak sih!

Tapi kan lo udah putus sama Roy, Line!

Putus ? ah, iya gue baru ingat kalau udah minta putus ke Roy.

Mata John seketika kecewa, namun kemudian berubah sinis saat gue selesai memakinya.

“Cukup. Lo bilang gue brengsek karena udah nyium elo? Terus gue kudu sebut lo apa yang udah nikmatin ciuman tadi ?”

Semua makian gue lenyap.

Melihat kebungkaman gue, John mendekat perlahan. “Lo harusnya nggak nyalahin...”

Brakk!

Gue kaget dengan kondisi John yang tersungkur di lantai. Di tengah pintu kamar, Roy dengan wajah meradang melotot sambil membawa tongkat bisbol. Barusan John ditendang Roy. Roy menurunkan tongkat bisbolnya dari pundak, kemudian menuding John yang baru saja bangun.

“Udah bagus lo nggak gue biarin mati.” Ujar Roy dengan marah.

Ya tuhan! Ini bukan Roy yang gue kenal. Roy tak pernah menampilkan wajah seperti ini. Rahangnya yang mengeras, dengan alis menukik tajam, menambah kesan seram yang menyelimuti kamar gue.

“Gue nggak pernah minta bantuan lo.” balas John setelah berdiri dengan sempurna.

Roy sekarang menatap gue dengan kecewa. “Gue nggak nyangka lo bakalan hianatin gue, Line.”

Gue menggeleng kecewa. Tentunya gue kecewa dengan diri gue sendiri.

“Harusnya tadi gue nggak nyamperin ke kamar lo. Gue udah liat semuanya tadi. Di depan jendela kamar lo!!”

Harusnya gue nahan air mata ini biar nggak tumpah, tapi sia-sia. Air mata ini terlalu berat untuk di tahan.

“Harusnya gue dulu nggak usah ngungkapin perasaan ke elo. Buktinya elo nggak bisa jaga perasaan gue.” Rahang Roy mengetat sebentar untuk menahan amarah. “Sebegitu mahalnya hati lo buat gue milikin seorang ? atau emang semurah itu hati lo buat diobral ?”

“Roy, ucapan lo nyakitin Adline.”sela John.

“Diem lo!” bentak Roy ke John. “Dari awal gue udah tahu kalau lo itu pengacau.”

“Pengacau dalam hal apa ? gue bersaing dengan adil. Harusnya elo yang malu! Bersembunyi dalam hubungan persahabat, tapi mengacaukan kesempatan orang lain buat deketin Adline!” John membentak Roy balik. “Lo harusnya sadar itu!”

“Gue udah jadian dengan Roy.” Ujar gue dengan lirih.

John seketika membeku dengan tatapan kecewanya. Dia melihat gue dengan nanar. Entah menyakinkan gue kalau itu semua bohongan atau memang benar-benar menginginkan gue untuk berbohong.

ROY-ABLE - [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang