31

28.2K 1.1K 27
                                    


.
.

Gawat!

Mama gue terkena hantaman kenyataan yang enggak dia sangka. Mulutnya sekarang udah komat-mamit beribu doa. Hidungnya kembang-kempis menenangkan diri sebelum matanya kembali menatap Brian sinis.

“Ah, ini pasti akal-akalan Ian biar nggak dijodohin sama Adline.”ucap Mama masih belum terima.

Brian mengacak rambutnya kesal. “Tante ini gigih banget atau rewel sih ?! udah jelas-jelas Roy tadi bilang mereka udah jadian.”

Mama gue dan Brian saling bertatapan sengit. Kalau gue nggak salah liat tadi ada sambaran petir dari mata mereka berdua. Kalau dibiarkan semenit saja mungkin bola mata mereka udah loncat saling adu kekuatan. Ini nggak baik. Gue tahu Mama gue emang rada-rada error, otaknya kadang emang suka melenceng, kadang bener kadang juga kurang salah.

“Mamah... Ian nggak mau jadi perusak hubungan mereka berdua,” rengek Brian ke nyokapnya sambil nuding gue dan Roy, “Mereka itu emang pacaran. Bahkan pas kemah Ian ngeliat mereka ciuman di pinggir danau.”

Mulut gue menganga lebar.

Kondisi Mama gue juga nggak beda jauh sama gue. Di sebrang sana Roy Cuma nepuk dahi dan Nyokapnya senyum samar mencurigakan.

Kiamat gue udah dateng.

“Mamah... percaya sama Ian ya... ?” Rengek Brian sambil mengguncangkan lengan Nyokapnya.

Hening.

Masih hening.

Ini rumah gue biasanya bisa hening Cuma pas nyokap tidur.

Dan sekarang hening, padahal nyokap masih melek plus mulutnya masih menganga lebar.

“Umm,” gumanan Nyokapnya Roy melerai keheningan tadi, “Saya mau ngungkapin pendapat soal hubungan Roy dan Adline.”

Semua fokus tertuju ke Nyokapnya Roy.

“Saya udah curiga lama kalau mereka bukan sekedar sahabat. Pasti ada apa-apa.” Nyokap Roy tersenyum ke gue, “kalau soal perasaan Roy, saya sudah tahu dia sayang ke Adline. Dan dari tatapan Adline juga saya sudah tahu perasaannya nggak beda sama Roy.”

“Bagaimana bisa, jeng. Mereka itu sahabatan. Saya yakin itu.” sanggah Mama gue.

Nyokap Roy geleng-geleng dengan senyum geli. “Mamamu ini emang enggak peka, Adline.

“Anaknya juga nggak beda jauh.” Tambah Roy kemudian.

“Tante kalau masih rewel bakalan Ian ika... Aww sakit Mamah.” Brian mengelus lengannya yang dicubit Nyokapnya, menoleh ke Nyokap gue lagi. “Maaf Tante, lanjutin lagi aja. Ian nyimak aja kali ini.” Lalu duduk di samping nyokapnya.

Lama-lama gue geli juga denger Brian nyebut dirinya sendiri Ian.

Hidung Mama gue udah kembang-kempis nggak konstan. Matanya nggak fokus dan keringat mengucur dari dahinya. Sambil mengang pelipisnya, Mama gue berbalik menuju kamarnya. “Arghtt!! Pusing! Lanjutin besok pagi aja. Kepalaku kayak mau meledak. Kalian kalau mau nginep nggak apa.”

Brakkk!

Hening lagi.

“Nyokap lo emang suka kabur dari masalah gitu ya, Line ?” tanya Brian menyadarkan kesadaran gue.

Gue ngangguk aja.

Nyokap Roy menghampiri gue dengan senyum keibuan yang khas. Ngelus kepala gue lembut, lalu narik dagu gue biar natap dia. “Mantu tante emang cantik.”

“Mama!” sela Roy tak suka.

“Sumpah! Mah, kita pulang sekarang sebelum ikutan gil... hebmmm...” ucapan Brian tak berlanjut karena Nyokapnya udah nyumpelin mulutnya dengan sapu tangan. Sambil setengah menyeret, Brian dibawanya pulang setelah pamitan.

ROY-ABLE - [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang