.
.
.Gue masih baper masalah Sansa yang terkesan menutupi beberapa hal dari gue. Kayak masalah Mada yang terbang ke Bali, sedangkan sebelumnya Sansa bilang kalau Mada udah dapet kuliahan. Yang mencolok juga tentang Sunday, kenapa Sansa nggak pernah cerita ke gue... terus apa arti persahabatan kami selama ini. Kalau di inget lagi, padahal gue selalu mepetin Sansa.
Di sekolah temen gue itu Sansa, hanya Sansa dan mungkin emang Cuma Sansa... sedangkan dia punya banyak temen guys. Meski muka dia galak dan sengak, dia pinter nyari temen.
Sedangkan, sekali lagi, temen gue HANYA Sansa. Eh, ketambahan Beny sekarang, tapi lupakan! Dia nggak masuk hitungan.
Lupakan lagi masalah itu, sekarang gue sama Roy lagi di kantin. Di depan gue ada bakso urat super yang harganya 25k, sedangkan Roy Cuma mesen nasi pecel yang harganya Cuma 6k.
Sebelum gue masukin sambel ke mangkuk, Roy udah nyeletuk dengan santai. “Jangan pedes-pedes, nanti lo mencret.”
Spontan gue langsung melirik sambal kacang yang ada di piring Roy. Gue natap Roy sambil nelen ludah. “Oke..” gue nggak jadi ngasih sambal.
Btw, itu sambel kacang Roy kayak anu.
“Nanti sore tungguin gue pulangnya, gue masih ada pertandingan sama sekolah sebelah.” Ucap Roy setelah mengaduk pecelnya.
“Sekolahnya Brian ?”
Roy mengangguk. “Jangan deket-deket Arjuna.” Katanya dengan datar.
Gue tanya soal Brian, ini anak malah kesasar ke Arjuna.
Dannn... Emang gue keganjenan ?
“kalau dia yang ngedeketin gimana ?” tanya gue seolah menantang Roy.
Roy menatap tak suka. Aliasnya naik sebelah dengan dramatis, atau mungkin gue aja yang melihatnya seperti itu.
“Adline..” nadanya terdengar sedikit tak suka, “Lo udah tau Arjuna itu kayak gimana, dan lo masih mau di deketin ? ingat lo punya siapa sekarang.”
Bilang aja cemburu kalee.. ribet amat ini cowok!
“Iyaa..” gue mengiyakan dengan ogah-ogahan, “Kalau gitu gue pulang duluan aja, biar nggak ketemu sama dia.”
“Nggak! Lo pulang bareng gue.”
Ribet sumpah!
Mau jadi sahabat atau pacar sekalipun, kayaknya sifat pemaksa Roy nggak pernah bisa pudar. Udah bawaan dari orok kali ya, dulu nyokapnya Roy ngidam apaan.
Gue natap mata hijau kebiruan Roy yang cerah. Warna matanya aja udah dingin, apalagi di padukan dengan sikapnya yang dingin. Kemaren-kemaren Roy bisa manis juga sih, tapi dikit doang. kalau banyak mungkin gue bakalan diabetes.
“Roy, nanti belikan gue cemilan ya biar nggak bosen nonton lo tanding.” Pinta gue dengan kalem, setelah melihat Roy mengangguk, gue langsung semangat makan bakso di depan gue. “Yang banyak ya, sekalian buat seminggu juga boleh.”
“Boleh, tapi nanti malam gue main ke kamar lo.” jawabnya santai.
Gue melotot kaget dengan wajah aneh. “Ngapain malam-malam ke kamar gue ? nanti kalau khilaf bisa berabe..”
“pikiran lo akhir-akhir ini kotor banget,” jarinya mendorong dahi gue dengan cepat, “Di kamar lo kan ada Tvnya, gue kemaren beli film action bagus.” Sekarang di tambah dengan jitakan nikmat di kepala gue.
Gue ngelus bagian yang sakit dengan merengut, “Iya, ngobrol dong yang jelas dari awal biar pikiran gue nggak kemana-mana.” Tapi gimana pikiran gue nggak ke situ ya kalau setiap kali gue berdua dengan Roy pasti aja suasananya menjurus ke situ.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROY-ABLE - [END]
Teen Fiction[Young-Adult] Roy itu cuek. Dia misterius. Gue jadi sahabatnya aja bingung. Sampai kejadian itu merubah persahabatan kami. Roy ternyata lebih kompleks dari kata Dingin dan Cuek. Dia mengambil sesuatu yang tak harusnya dia ambil. Gue takut. Takut jat...