"Siapa yang bikin rencana buat gangguin skripsian calon suami Keysa ?" John menggebrak meja dikamar gue dengan ganas. "Goblok!"
"Sansa yang bikin." Jawab gue dengan heran dan sedikit takut, "Emang kenapa, John ?"
John menghela napas. "Calon suami Keysa itu kuliah di Jogja. Terus kalau kita mau gangguin dia kudu terbang ke Jogja dulu gitu ? buang-buang duit!"
Sansa berdecih. "Gue yang bayar. Elo diem aja deh bacod!" sengitnya tak terima dengan pendapat John. "Cuma Jogja aja, bukan ke Jepang."
Gue menatap Beny yang sendari tadi menekuri komiknya tak menghiraukan perdebatan di sekitarnya yang sedang membahas soal mantannya. Gue ngerasa disini Sansa dan John aja yang terlalu menggebu dalam rencana ngerusak nikahan Keysa. Beny selaku mantan Keysa malah lebih sering diam menerima saran dan pendapat kami. Roy yang sendari tadi duduk di jendela gue menatap keluar 'pun nggak peduli dengan perdebatan ini. Roy hanya mengikuti alur asalkan itu bersama gue. Dan gue terseret rencana ini karena rasa solidaritas persahabatan.
"Gimana menurut lo, Ben ?" tanya gue nyenggol Beny.
Beny sedikit kaget mengerjapkan mata. "Oh, iya. Gue setuju aja. Thanks ya guys. Kalian peduli banget sama gue."
Sansa menepuk dadanya bangga. "Apapun itu demi kebahagiaan elo." Katanya.
John menghela napas. "Gue tahu elo sekarang lagi ragu, Ben."
Beny menunduk memainkan komiknya dengan membolak-balik secara random. "Tapi gue belum ikhlasin Keysa."
"Waktunya kurang 1 bulan lagi. Elo masih bisa mikir-mikir lagi. Soal list sabotase itu biar Sansa yang ngurus." John menepuk bahu Beny, "Gimana kalau sekarang ini kita nopi ?"
Hah?? nopi ??
"Nopi gimana maksud lo John ?" tanya gue bingung.
John menyeringai dengan alis naik turun. "Nonton Tipi." Kemudian ketawa lebar mengambil remot di nakas dan menyalakan televisi di kamar gue.
Lupakan John dan kerecehannya yang tak lucu sama sekali. Gue melihat Beny galau jadi ikutan galau. Cowok yang selama ini selalu tersenyum dan banyak bicara menjadi pendiam. Rasanya gue rindu senyum Beny yang ngeselin itu. Dia teman yang baik, Beny orang pertama yang gue tahu peduli dengan Roy dan mau membantu gue nyariin cewek buat Roy. Beny yang selama ini ternyata mendukung hubungan gue dengan Roy. Dia selalu menyemangati gue meskipun dengan cara yang ambigu.
"Gue rindu elo yang ceria, Ben." Guman gue tanpa sadar.
Beny menatap gue dengan sendu. "Maafin gue, Line. Gue belum bisa." Kemudian menunduk lagi. "Gue... gue beneran cinta sama Keysa." Bisiknya.
Hampir saja gue meluk Beny kalau saja Roy nggak duluan narik gue ke sampingnya. "Biarin dia, Line. Soal perasaan kita nggak bisa ikut campur." Bisik Roy yang kemudian fokus ke arah televisi yang menayangkan acara memasak.
Bener kata Roy, soal perasaan Beny ke Keysa, gue enggak bisa ikut campur.
Hari mulai sore, Sansa mengajak kami makan di GardenLee. Katanya sekalian buat mata-matain Bang Joni biar nanti pas hari-H bisa menyingkirkan Bang Joni. Setelah menunggu lama dan makanan udah dateng semua, Bang Joni enggak kelihatan disudut GardenLee sama sekali. Gue tadi udah nanya ke salah satu pegawai dan katanya Bang Joni lagi sibuk di kantornya. Gue minta antar ke ruangan kantornya, tapi pegawai itu menggeleng dan mengatakan Bang Joni tidak mau diganggu oleh siapapun.
Gue merenung saat temen-temen gue makan dengan lahap. Roy tak sengaja menyenggol gue dan membuat makanan yang gue pegang jatuh kembali ke piring. Gue noleh ke Roy dan menemukan Roy dengan wajah dingin mengedikkan kepala kearah makanan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROY-ABLE - [END]
Teen Fiction[Young-Adult] Roy itu cuek. Dia misterius. Gue jadi sahabatnya aja bingung. Sampai kejadian itu merubah persahabatan kami. Roy ternyata lebih kompleks dari kata Dingin dan Cuek. Dia mengambil sesuatu yang tak harusnya dia ambil. Gue takut. Takut jat...