Pagi ini gue pergi kesekolah jalan kaki bareng Roy. Kami berangkat sedikit pagi karena harus mengumpulkan tugas kimia. Padahal hari ini nggak ada jam pelajaran kimia, tapi itu guru emang suka nyusain muridnya dengan ngasih tugas deadline sehari kayak gini. Ya kali gue ini Roy, ngerjain beginian enggak ada susahnya. Sekali liat soal langsung ngerti jawabannya. Persis kayak dukun deh.
"lo beneran enggak mau gue tanggung jawab ?" tanya Roy yang jalan di samping gue.
Gue memutar bola mata bosan, "Roy sahabat gue yang baik hati dan sedikit sombong.. elo udah ngomong beginian sepuluh kali pagi ini, dan jawaban gue tetep sama." Roy menatap gue datar, "gue enggak mau elo tanggung jawab!"
"kita beneran enggak ngelakuin itu –kan ?"
"enggak!"
Gue kudu jawab berapa kali buat Roy ngerti ? ini anak kenapa sih, ngebet banget pengen tanggung jawab. Ya kali kalau gue emang dihamilin dia, baru deh dia boleh tanggung jawab. Lah ini Cuma karena nyium gue, Roy mau tanggung jawab. Hem, ciri cowok yang bertanggung jawab sekali. Suka deh, idaman banget. Tapi bukan idaman pas situasi kayak gini.
"elo kok aneh sih Roy. Masak karena kejadian semalam ?" tutut gue enggak terima dengan sikapnya yang aneh ini.
Tatapan Roy kembali dingin, "gue takut elo sakit karena gue."
Gue pingin ketawa, tapi juga terharu sama tingkah Roy. Dan gue sadar, sebagai sahabat yang baik gue harus apa, "gue tahu elo sayang gue, Roy." Gue peluk Roy meski susah karena dia tinggi banget. "Thanks udah khawatirin gue, tapi gue emang baik-baik aja."
Roy melepas pelukan gue, dia natap mata gue masih dengan dingin tapi gue tahu di dalam matanya itu tersimpan sejuta kebaikan dan perhatian Roy sebagai sahabat gue. Roy megang bahu gue, "lo malu-maluin." Katanya.
Gue bingung. Seketika gue liat sekeliling gue yang ternyata banyak siswa lain yang ngeliatin gue dan Roy. Spontan gue nepuk jidat. "sorry, lagi-lagi gue bikin lo malu."
"bukan lagi, tapi setiap hari." Ucapnya dingin yang kemudian jalan ke gerbang sekolah meninggalkan gue di tengah jalan. Yah, seperti biasanya ya... Roy selalu ninggalin gue.
Setelah gue ngumpulin buku tugas Kimia ke kantor guru, gue ketemu Beny di depan gazebo. Dia ditemani macbook dan beberapa makanan ringan di sampingnya. Gue panggil Beny dan dia menyahut dengan gembira.
"gue kemarin udah curhatan sama Sansa. Dari yang gue liat, dia emang sedikit tertarik dengan Roy. Tapi ya gitu, sedikit aja. " ucap Beny setelah gue duduk disampingnya.
Gue ngangguk-ngangguk, "okelah masalah itu, Ben. Tapi ini ada masalah baru dan masalah lama udah terselesaikan." Beny terlihat bingung. "Roy suka sama seseorang!" kata gue mendramalisir.
"jangan bilang Roy suka sama lo ?"
Aihh.. ini respon macam apa sih ? kok enggak bikin greget gitu ya.
"ya enggak lah." Berdeham sebentar, "dia suka kakak kelas yang namanya Welna. Lo tahu ?"
Beny terlihat ragu dengan kerutan di dahi yang saling menempel. "lo yakin dia beneran suka ?"
Enggak juga sih. Kan yang Roy pingin Cuma nyium Welna doang. "iyaaa.. Roy sendiri yang ngomong."
Beny segera menutup macbooknya dan kembali fokus ke gue. "lo liat itu ?" Beny menunjuk ke arah Sansa yang lagi jalan bareng John di koridor kelas 11 ips.
"Sansa ?" gue noleh ke Beny yang natap kearah Sansa dengan serius.
"Sansa itu anaknya orang kaya."
Lah! Emang apa hubungannya Sansa yang anaknya orang kaya dengan Roy ?
"Sansa tiap hari dianter bokab-nya berangkat ke sekolah." Kata Beny serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROY-ABLE - [END]
Teen Fiction[Young-Adult] Roy itu cuek. Dia misterius. Gue jadi sahabatnya aja bingung. Sampai kejadian itu merubah persahabatan kami. Roy ternyata lebih kompleks dari kata Dingin dan Cuek. Dia mengambil sesuatu yang tak harusnya dia ambil. Gue takut. Takut jat...