56. Goodbye Daniel, Goodbye My Adolescence

20.9K 3.2K 442
                                    

_____

Goodbye Daniel. Thank you for being one of people who colored my life.

Satu hari terasa begitu cepat. Nggak Samuel, nggak Daniel. Di hari esok mereka pergi, nggak ada satupun yang memberikan kabar seharian ini. Tidak mengabari, menghubungi maupun membalas pesan. Atau mungkin memang terlalu sibuk. Daniel meninggalkan Indonesia dan menetap di sana selama lima tahun, tentu pasti banyak yang harus ia persiapkan.

Gue menghela nafas panjang memutuskan untuk kembali berbaring. Tadi pagi Ayah dan Ibu mengajak gue berbicara di ruang tamu. Mereka mengatakan tentang bagaimana kalau gue kuliah di Jepang. Ayah mempunyai teman di Jepang yang bisa membantu gue mengurus beasiswa, apalagi TOEFL gue memang memadai untuk kuliah di luar negeri. Setelah gue menyetujui itu, perlahan hati gue merasa sedih.

Berapa banyak orang yang harus gue tinggalkan? Orang tua, Jovan, Sonho dan anak kelasan 3-2 lainnya. Ketika orang lain memilih untuk mementingkan ego nya dan pergi sejauh mungkin demi meraih mimpi, kenapa gue merasa bodoh? Merasa bodoh masih ingin berada di zona nyaman, tak ingin pergi jauh, dan tak ingin meninggalkan siapapun.

Gue melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Daniel brengsek. Saat acara perpisahan dia bilang gue harus datang mengantarnya. Bahkan gue nggak tau tepatnya pukul berapa ia berangkat. Dan pesan gue nggak dibalas.

Gue berdecak, menatap cemas ponsel yang sedari tadi gue genggam gsejak siang, ralat deh sejak pagi. Kalau Daniel bersungguh-sungguh nggak akan menghubungi gue hari ini perihal besok. gue nekat dateng ke bandara dari subuh. Kalau memang nggak bertemu dia disana seharian, gue bersumpah akan menolak bertemu dengannya 5 tahun kemudian. Sialan.

Waktu terus berjalan, sudah pukul setengah delapan malam. Daniel hilang bak ditelan bumi. Gue menggigiti kuku tanpa henti.

Gue melonjak kaget ketika lantunan lagu Dean berjudul Instagram berbunyi dengan nama Daniel yang tertera di layar. Gue segera mengangkatny.

"DANIEL! Apa-apaan nih! Lo mau pergi tanpa pamit ke gue?!" Teriak gue kesal.

"Sorry, banyak hal yang harus gue urus. Bisa ketemu? Sebentar aja"

Gue mengernyit. "Lo sakit? Kok suaranya aneh?"

"Flu hehehe, bisa ketemu nggak nih?"

"Bisa, mau dimana?"

"Coffebay dekat sekolah. Gimana?"

Gue tersenyum kecil dan segera mengiyakan. Setelah itu gue segera membuka lemari dan menatap semua baju yang tergantung rapih di dalam. Kaki gue terus mengetuk ke lantai, menandakan bahwa gue sedang bingung. Pakai baju apa ya? He gue nggak mau nangis-nangisan menatap kepergian Daniel dan memikirkannya sampai bertahun-tahun hingga melupak goals kehidupan gue sendiri. Gue nggak sebodoh dan sebucin itu. Tetapi setidaknya, di acar date dadakan malam ini, gue harus terlihat lebih baik. Siapa yang tau? Kalau malam ini bisa jadi yang terakhir kalinya gue melihat dia?

______

Selama lima belas menit gue menatapi lemari. Ending nya gue memilih memakai hoodie hitam, celana jeans ligh blue, dan sneakers putih. Malam ini gue memilih mengenakan topi. Setelah pamit pada orang rumah, gue pun berangkat dengan menggunakan ojek online.

Gue sampai di depan coffebay, segera turun dan membayar. Gue membuka pintu dan menemukan sosok Daniel terduduk di meja pojok dengan dua big cup Americano di atas meja.

Jagoan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang