Alcohol

4.5K 848 26
                                    

"Kau yang memulainya Park Sena-Ssi, karena kau. aku terlambat kembali ke Korea dan harus menemuimu untuk mengembalikan ponselku"

Sial. Dia masih dendam dengan kejadian itu. Gue tertawa dengan tidak percaya, laki laki ini sungguh ingin mendebat dengan gue. Febri harus tau orang yang selama ini ia kagum kagumi adalah orang menyebalkan dan  pendendam.

"Dengar ya tuan idol terhormat, anjir emosi jiwa gue" Gue mengacak rambut gue frustasi, berbicara Bahasa Indonesia yang membuat lelaki di sebelah gue menampilkan raut wajah bingung.

"Neo jigeum mwolago haesso?" ( kau barusan bilang apa?)

"Aniyo, kau tidak akan mengerti apa yang kukatakan" Balas gue sewot.

"Salah siapa yang menaruh ponsel sembarangan ditempat ramai, kau memiliki ponsel yang sama persis denganku"

Dia tersenyum miring, menatap gue dengan pandangan menyebalkan. Jika saja dia bukan seorang idol entah apa yang gue lakukan di dalam lift ini. Well akan gue praktikan yang namanya taekwondo sabuk hitam.

"Wah kau banyak bicara sekali" ucapnya dengan nada kagum yang dibuat buat.

Gue menggeleng kesal dan keluar dengan cepat ketika pintu lift telah terbuka, meninggalkan jauh Daniel yang berada di belakang gue.



***


Sudah gue katakan sebelumnya. Keluarga gue punya segalanya, semuanya, harta, koneksi, wilayah, jabatan. Sebutkan apa lagi? Satu kekurangannya. Mungkin harmonis? Tapi nyatanya, hanya gue yang tidak harmonis di keluarga besar. Seperti terbuang? Oke lupakan. Gue nggak tau kenapa Chanhee bisa tau nomor ponsel gue yang baru ini, tapi sungguh panggilan dia benar benar menganggu, membuat gue stress seharian ini.

Bagaimana tidak? Dia telah berpuluh puluh kali melakukan panggilan.

Sinting.

"Lo tau nomor ponsel gue dari mana?"

"Nggak penting, gue cuman mau ngasih tau Lo. Kayaknya Bokap serius mau jodohin Lo sama yang ini"

Gue menghela nafas panjang, jodoh lagi jodoh lagi. Kayaknya mereka nggak bisa sebentar aja membiarkan gue bernafas dengan lega dan tanpa beban. Gue baru bisa bernafas ketika kedua karya gue booming, menjadi terkenal dan banyak uang. Tapi mereka datang lagi, seakan akan kesuksesan gue adalah hal yang patut di hentikan. Kejam. Seperti Hitler.

"Gue nggak mau, berapa kali gue harus bilang? Kenapa sih kalian selalu maksa gue ini itu, padahal sebelumnya kalian nggak pernah perduli"

Sejujurnya, kalian yang gue maksud adalah keluarga gue, dengan pengecualian Chanhee. Gue nggak sebenci itu sama kakak kandung gue sendiri, setidaknya dia lebih baik dari yang lain. Perduli, namun selalu gue abaikan.

"Lo tau Ayah, dia penguasa media. Bisa aja karya palsu Lo itu dia bongkar dan dia sebar di surat kabar"

Setetes air mata keluar, perkataan Chanhee benar benar menusuk gue paling dalam. Palsu.

Karya gue nggak palsu, gue yang membuatnya sendiri, bukan orang lain. Bedanya, pengakuan pengalaman yang seharusnya itu adalah imajinasi belaka. Imajinasi, bentuk suatu hal yang nggak bisa gue gapai, gue tuangkan semuanya disana.

"Sebelum, Ayah melakukan itu. Alangkah baiknya Lo pulang dan temui dia dulu"

"Ayah sayang sama Lo, dia selalu mendengar kata kata dari anak sulungnya, bantuin gue. Gue nggak mau berakhir menjadi lebih buruk lagi karena sebuah ikatan pernikahan yang nggak pernah gue inginkan"

Falsedad  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang