Tidak banyak yang bisa gue lakukan saat ini. Flu benar benar mempersempit dan mengekang gerak gue. Pusing, pening, dan demam itu memang bukan hal yang enak di alami. Ditambah bersin tanpa henti, hidung memerah dan sedikit-sedikit ingus meler.Laki laki yang kini sedang berada di dapur, yang sedari tadi menimbulkan suara suara dentingan piring, pisau dan sebagainya--ia Daniel yang gue nggak tahu sebenarnya dia sedang apa di sana.
Beberapa menit yang lalu, dia dengan apik dan sabar mengganti kain yang bertengger di dahi gue. Tidak banyak bicara, tidak seperti sebelumnya. Wajahnya tidak ceria sama sekali, namun tetap tersenyum singkat sesekali.
Tapi gue nggak biasa sama keadaan ini. Dimana gue sering ledek ledekan malah berubah jadi diam diam gini. Belum lagi jantung gue yang sulit dikondisikan setiap dia mendekat untuk mengecek apakah kain gue masih lembab atau enggak.
Suara dentingan di dapur berhenti, berganti dengan suara langkah kaki yang kian mendekat.
Gue menoleh ke arah pintu kamar, dia masuk dengan beberapa potong buah buahan di atas piring. Jangan bilang dia buat gaduh di dapur hanya untuk memotong apel dan pisang. Gue nggak heran, karena laki laki memang jarang berurusan dengan yang namanya dapur.
"Kau harus makan" Ucapnya pelan. Dia mendudukkan dirinya di kursi sebelumnya yang ia tempati. Kursi kerja gue yang ia sengaja pindahkan ke samping tempat tidur. Tepatnya untuk berada di jarak yang dekat dengan gue.
"Mual, tapi sudah makan dua sendok bubur tadi pagi" balas gue.
Memang benar, perut gue nggak bisa nerima banyak makanan untuk saat ini.
Dia mencibir tanpa suara. Seperti berbisik, sifatnya yang seperti anak kecil ngedumal sudah kembali lagi. Gue tersenyum kecil dibuatnya.
"Kau tahu seberapa berjuangnya aku untuk mengurangi suara gaduh di dapur tadi? Kau dengar tidak?"
Gue mengangguk. "Berjuang apanya, cuma memotong buah saja bikin dapur orang hancur"
Dia mengabaikan ucapan gue dan mengambil sepotong kecil buah apel dan ia sodorkan ke depan mulut gue.
Well, mungkin buah nggak buruk untuk mual sialan gue ini.
"Kenapa bisa sakit?"
"Hujan hujanan tadi malam"
"Sinting" Balasnya singkat.
Ucapannya sukses membuat gue kesal. Iya sih, gue yakin kalau ada yang melihat dua orang menari sambil bernyanyi di tengah hujan deras saat malam, jujur memang sinting. Tapi terkadang, sinting itu lebih baik daripada depresi.
"Minhyun Hyung juga lagi flu" Katanya lagi.
Mata gue mengerjap, sedikit terkejut. Dalam hati merasa tak enak. Pasti gara gara gue deh dia sakit gitu. Padahal kan dia mau kerja, mau tampil di publik lagi. Soalnya comeback WannaSee sudah dekat.
"Kau tidak sibuk? Kan sebentar lagi comeback"
Dia malah tersenyum jenaka. Jarinya tergerak menunjuk gue. "Dasar wannasay, bagaimana kau tahu?"
Ew. Sudah dibilang gue bukan fansnya, ngotot amat.
"Di abad 21 ini ada internet, pikir saja sendiri" ketus gue.
Dia malah tertawa, tidak sedikitpun merasa tersinggung. Tangannya kini bergerak mengambil kantung kresek berisikan beberapa obat yang dibeli Inay tadi pagi.
"Kalau kau mau cepat menyelesaikan karyamu, kau harus cepat sembuh"
Dia menyodorkan obat itu, dan menunjuk meja kerja gue yang terbengkalai. Nggak tahulah, gue nggak tau karya itu bisa dan layak di publish apa enggak, soalnya masih banyak bab yang belum selesai dan inspirasi gue berhenti sampai hujan hujanan kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falsedad
FanfictionDalam bahasa Spanyol Falsedad berarti sebuah kepalsuan. sama seperti diri gue yang penuh dengan kepalsuan di depan banyak orang. Berpura pura tersenyum. Berpura pura baik. Berpura pura ramah. Apapun itu, tapi semua hanyalah semata mata bentuk pert...