What The Hell?!

4.9K 829 106
                                    








Gue terperangah, mata gue melotot menatap sosok laki laki yang kini berdiri di depan pintu. Kalo gue berharap ini mimpi, nyatanya enggak. Gue benar benar berada di kamar asing yang sama sekali nggak gue bayangin untuk pernah ada disini. Gila. Sinting. Apa yang membuat gue berada di sini ya Tuhan. Mau ditaruh mana muka gue.

Gue memeriksa keadaan seluruh tubuh gue, mengintipnya lewat selimut abu abu dengan perasaan campur aduk. Dan untungnya, pakaian gue masih lengkap. Gue menghela nafas lega, lantas bangun dan berdiri dengan cepat. Sedangkan laki laki yang berada di depan pintu menatap gue dengan sinis, tajam dan tentu minta di tonjok.

"Sudah? Cepat keluar" katanya.

Ia berjalan keluar, pindah dari depan pintu menuju ruang tamu. Sedangkan gue masih memukul pelan kepala gue berkali kali. Sial, ini pasti kerjaan Samuel. Gue harus tanya sama bocah bartender yang setengah bule itu.

Gue berjalan keluar mengikuti laki laki yang kini sedang memainkan ponselnya. Tampak sibuk.

"Kenapa aku disini?"

Dia menoleh, tertawa sinis dan menatap gue dari atas sampai bawah bahkan sampai atas lagi. Dan cukup membuat gue merasa terintimidasi.

"Tanyakan pada adik jadi jadianmu itu" Jawabnya pelan. Dingin seperti dinding es.

"Kau, benar-benar di luar ekspektasi" tambahnya. Jari telunjuknya bergerak menunjuk gue dengan senyum smirk, yang sejujurnya gue nggak mengerti apa yang dia maksud.

Karena gue adalah orang yang sangat memegang teguh sopan santun, gue berdecak merasa tidak terima ditunjuk tunjuk dengan seseorang. Menurut gue itu nggak pantas. Dengan gerakan cepat gue menepis tangannya dan mengambil tas dan jaket yang sedang duduk manis di atas sofa ruang tamu setelah itu gue beranjak keluar dari 504 ini.

Samar-samar gue mendengar dia berteriak kencang seiring dengan langkah kaki gue yang bergerak keluar.

"Terima kasih Lee Daniel! Telah memberi tumpangan semalam!" Teriaknya.

Gue mendesah frustasi, gue berjalan menutup pintu 504, setelahnya gue bersender dari luar. Memejamkan mata, mengetuk ngetuk lantai dengan kaki yang polos. Sebentar, sialan sepatu gue ketinggalan. Gue menggeleng, kembali masuk demi mengambil sepatu hitam gue itu bukan pilihan terbaik.

"Gila, gue rasa gue udah sinting"

Gue berlari, memasukkan password milik gue dengan cepat sebelum idol bernama Daniel itu keluar dan menikam gue masih berdiri di sekitar sini. Setelah pintu berhasil terbuka, gue menutupnya dengan keras meninggalkan debuman yang cukup keras.

Hal yang gue lakukan setalah masuk adalah berkaca pada cermin besar di sisi tempat tidur. Menatap miris wajah gue yang masih lesu, khas bangun tidur, benar benar menyedihkan.

"ALAH!"

Gue berdecak, mengambil ponsel gue dengan kasar dan mencari salah satu kontak yang saat ini ingin gue maki. Kim Samuel.

"Oh Nuna, ada apa?"

"Ya! Neo micheosso?! Bagaimana bisa kau tinggalkan aku di apartement seorang Lee Daniel!?" Hardik gue. (Kau gila?!)

Terdengar cengengesan pelan dari seberang telepon. Gue selalu menyerahkan diri ketika mabuk pada bocah 20 tahun itu, dengan maksud mengembalikan gue kembali ke tempat asal. Tapi bukan berarti ke tetangga sebelah.

"Mian, itu semua karena kau tidak memberiku password untuk masuk! Lantas bagaimana aku bisa masuk? Apa Nuna menyuruhku menembus dinding?!" (Maaf)

Gue tertawa, tidak habis pikir bagaimana bisa bocah yang umurnya berbeda 4 tahun dengan gue itu, bisa membentak bentak gue yang nyatanya lebih tua dari dia, ditambah. Hey siapa yang bisa membentak seorang Park Sena! Nampaknya dia bosan hidup.

Falsedad  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang