Stars

3.7K 691 137
                                    





Daniel itu memang seperti anak kecil. Perasannya sensitif dan mudah tersakiti. Tapi karena dia seperti anak kecil makanya semudah itu pula membuat hatinya menjadi baik lagi. Seperti yang telah di rencanakan sebelumnya, gue sekarang berada di dalam satu mobil yang sama dengan Daniel yang kini tengah menyetir sembari bersenandung ria mengikuti irama dari lagu Dean yang berjudul Instagram yang baru saja ia putar.

Dia terlihat senang, karena kami sedang dalam perjalanan menuju tempat kesukaannya. Ia suka mengunjungi tempat itu ketika merasa penat dan lelah, dia juga bilang dulu dia sering banget pergi kesana sama ibunya dan tantenya di malam hari. Soalnya bisa melihat bintang dengan jelas. Dia juga bilang disana ada Mercusuar tinggi. Tempat itu berada di pantai dekat dengan Incheon.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah 7 malam. Gue berharap nggak hujan, karena kami berniat melihat banyak bintang seperti yang Daniel katakan.

"Belakangan ini wajahmu lesu, banyak pikiran dan terkesan lelah, makanya aku mengajakmu kesana" kata Daniel.

Gue menyetujui dalam hati. Tepat sekali, suasana hati gue memang sedang tidak dalam keadaan baik baik saja.

"Well ya, um- semua seperti Bam! Bam! Masalah itu datang tiba-tiba dengan frekuensi yang banyak, membuat ku pusing dan sedih bersamaan. Pokoknya sakit, aku tidak tahu harus mendefinisikan sakitnya bagaimana lagi"

Dia mengangguk mengerti, kemudian melanjutkan fokus menyetirnya.

"Kau, tidak mau bertanya kenapa?" Tanya gue.

"Aku tahu masalah mu mungkin besar, ada batasan batasan kenapa aku tidak mau bertanya, aku takut menyakiti hati mu dan mungkin karena kau memang belum mau menceritakannya"

Gue tertegun untuk beberapa waktu. Perkiraan gue mengenai Daniel yang harus selalu tahu keadaaan gue itu salah. Mungkin ya, dia memang sebegitu khawatirnya sampai ingin tahu kenapa dan kadang bertindak sesukanya seperti menyelinap dalam apartement gue, tapi dia memiliki batasan untuk bertanya hal hal yang lebih kepada urusan pribadi.

Sikapnya, patut gue acungi jempol.

"Ada alasan kenapa aku menyuruh Minhyun untuk mengunjungi kakakku hari ini, hati Chanhee sedang buruk akhir-akhir ini begitupun juga denganku"

"Kalian bertengkar atau bagaimana?"

Gue menggeleng cepat. "Bukan, hanya saja ada beberapa hal buruk yang baru kami ketahui baru-baru ini dan itu memang sangat mengguncang pikiran maupun batin kami"

Dia mengangguk mengerti lantas diam dan kembali fokus menyetir.

Jeda panjang mengikuti kalimat gue. Daniek diam tanpa suara, sedangkan gue sedang menimbang apakah gue harus mengatakannya atau tidak.

Mungkin berbagi cerita dengan Daniel tidak salah juga.

Mungkin dia  bisa membuat gue Marasa lebih baik dengan kalimatnya.

"Daniel aku mempunyai kehidupan yang terbilang menyedihkan, dan terus berlanjut hingga aku beranjak dewasa, bahkan sampai kemarin aku mengetahui fakta terbesar pun, aku semakin merasa hidupku benar benar dikutuk"

"Aku akan mendengarkannya" katanya pelan.

"Aku tidak tahu harus bercerita dari mana karena ini memang sangat panjang dan berlanjut, intinya aku baru mengetahui fakta bahwa ibu yang selama ini aku ketahui sebagai ibu bukanlah ibu kandungku"

"Foto wanita yang berada di apartement mu?" Tanya Daniel hati hati.

Gue mengangguk mantap. Sejujurnya foto ibu Chanhee yang gue panjang sebelumnya sudah gue pindahkan ketempat lain. Maksudnya, sudah ngja gue gantung di ruang tamu. Melainkan gue taruh di atas lemari, karena gue ragu untuk memasangnya kembali atau tidak.

Falsedad  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang