Memulai Kembali

45 5 0
                                    




Gue berdiri di depan pintu abu besar dengan sebuah papan besi berwarna silver yang bertuliskan 504. Sejak Daniel memutuskan untuk pindah dan menjual kamar ini, tak ada lagi yang mengisinya. Senyum tipis terukir seiring dengan kilasan-kilasan di mana kami bertengkar di depan sini, berdiri saling melemparkan ucapan sarkas. Atau mungkin gue yang pulang dalam keadaan mabuk dan berakhir tidur di apartementnya.

Chanhee Oppa keluar dari apartement gue, ia membawa satu box barang-barang penting yang gue tinggalkan disini. "Ada lagi nggak yang mau di bawa?" Tanyanya.

Gue menggeleng, berjalan masuk ke dalam. Merekam semua tata letak dan berbagai kenangan indah di dalamnya, lantas menyimpannya dalam sebuah kotak bernama memori, yang sewaktu-waktu akan gue buka kembali jika ingin.

Ya, menyusul Daniel. Gue menjual tempat ini.

"Sena" Panggil Chanhee. Gue segera berbalik, berjalan keluar dan menutup pintu. "Ayo berangkat, takut telat"

_____

            Hari ini gue mengenakan coat coklat yang cukup tebal karena di luar sana bersalju. Lagi, gue memakai topi hitam dengan masker untuk menutupi wajah. Chanhee di belakang menyeret koper besar milik gue. Di sana Anin, Inay dan Febri segera berdiri dan melambai ke arah kami. Gue berlari kecil, hal yang gue lakuka ialah memeluk mereka.

Tak lupa gue juga memeluk Ayah yang berdiri bersama dua sekretarisnya di belakang. Hari ini mereka semua mengantar kepindahan gue ke Kanada.

Tangan gue melepas masker yang menutupi mulut.

"Kalian harus main ke sana" Ujar gue pada ketiga sahabat gue. "Siaaap, asal tiket pesawat di bayarin mah ya Nay" Jawab Anin tak tahu diri yang segera di hadiahi jitakan kecil oleh Febri.

Febri tersenyum lebar menepuk kedua pipi gue pelan. "Kalau Lo udah merasa baikkan, Lo juga harus sering ke sini"

Gue tertawa kecil. Tidak mengiyakan, juga tidak menolak. Entah, gue enggan untuk kembali ke sini. Terlalu banyak kenangan buruk, terlalu banyak kenangan indah yang membuat hati gue kembali sakit dan lemah.

Inay menggeleng cepat. "Nggak usah ke sini dah, mending kita ke Indo aja liburannya, kita boti lagi naik motor nya Febri" Ucapan Inay sontak membuat kami tertawa. Hanya Anin satu-satunya yang berwajah datar.

"Kalau kalian boti gue dimana dong nyet?"

"Lo di roda, muter-muter biar otak Lo jadi bener"

Selagi Anin dan Inay sibuk bertengkar dengan Febri sebagai penengah, gue beralih ke Chanhee, meraih koper milikn gue dan bergerak memeluknya. "Makasih Chanhee"

Ia menepuk punggung gue pelan dan sesekali mengusap rambut gue sayang. "Lo tuh ya memang adek kurang ajar sepanjang masa, sekali-kali panggil gue Oppa kek"

Gue menggeleng, menolak keras. "Nggak usah Oppa. Abang Chanhee aja" Lantas ia tertawa lantaran terlalu lucu dengan panggilan lokal dari gue.

Gue bergeser menatap Ayah yang tersenyum tipis. Gue mendekat meraih kedua lengannya. "Sena sudah tak apa-apa, sekarang Ayah harus tersenyum penuh arti jangan sedih begitu. Ayah harus sering mengunjungiku sebagai gantinya telah membuatku sedih bertahun-tahun"

Ayah mengangguk pelan, lantas menunduk menyembunyikan matanya yang mulai berair, melihatnya seperti itu membuat hati gue sakit. Gue segera memeluknya erat, cukup lama berharap semua beban dan rasa bersalahnya hilang.

"Aku sudah memaafkan Ayah, jangan menangis, ada Chanhee dan teman-temanku"

Gue mengusap kedua matanya, lantas mencium pipinya sambil tertawa pelan, membuat Chanhee tersenyum haru, melihat keluarga yang ia sayangi dan hidup berjauhan kini telah saling memaafkan.

Falsedad  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang