"Ashley!"
Chanhee berlari cepat menerobos pintu kamar mandi yang terbuka sedikit, menarik benda tajam yang berada tepat di atas pergelangan tangan nya.
Terlambat sedikit saja, dia bisa mati.
"Ashley hentikan! Kenapa kau seperti ini?!"
***
Mata gue seolah terkunci, memandang satu objek kedua iris mata coklat berwarna kelam tersebut. Alis mata gue tertaut, mendengar sebuah nama yang terucap dari mulut seroang Lee Daniel.
"Ashley?" Ucap gue mengulangnya.
Daniel tampak terkejut, kemudian menjauhkan dirinya dari kurungan kecil yang dia buat untuk gue barusan.
"Eoh?" Katanya. (Ya?)
"Kau menyebut Ashley barusan" Balas gue dengan nada yang sedikit menuntut. Dia benar benar menyebut Ashley barusan. Sebuah nama pemberian Ibu yang gue pakai sampai berumur 14 tahun.
"Ashley? Tidak, kenapa?"
Gue menatapnya tajam, mencoba membuat nya menjadi lebih jujur dan mengakui apa yang ia katakan barusan.
"Lee Daniel! kau menyebutku Ashley barusan"
Dia memandang gue aneh dan penuh tanya.
"Ya! Park Sena, selain penguntit nyatanya kau memiliki gangguan pendengaran ya? Aku tidak menyebut Ashley, aku menyebut Sena"
Gue menatap dia dengan kerutan di dahi, gue bingung sendiri dibuatnya. Jelas jelas gue mendengar dia menyebut gue Ashley beberapa menit yang lalu.
Gue diam sendiri, mencoba meyakinkan apa yang telah gue dengar. Tapi nampaknya, memang gue yang salah dengar. Nggak mungkin Daniel menyebut gue Ashley , dia nggak mungkin tau soal nama masa kecil gue itu.
Pintu lift terbuka. Kami sudah sampai di lantai 5. Tanpa mengucapkan sepatah katapun gue memasukkan password di depan pintu, setelah terbuka gue berjalan masuk. Namun tangan gue ditahan dari belakang.
"Wae?" (Kenapa?)
Dia menggaruk tengkuknya, dan tersenyum kecil.
"Aku akan mengobati tanganmu"
***
Entah gue kerasukan apa, gue terdiam memperhatikan tangan putih khas orang Korea serta urat urat yang terlihat, tangannya benar benar menandakan seorang laki laki. Tidak kecil namun juga tidak terlalu besar. Mungkin cocok untuk digenggam. Hanya kemungkinan bukan kenyataan.
Gue duduk di sofa ruang tamu, dengan Daniel yang duduk di karpet dengan tangan lihai yang sedang sibuk mengobati luka luka di telapak tangan gue. Dia melakukannya dengan sangat pelan, seakan gue adalah kaca yang bisa pecah kapanpun. Benar benar lembut.
Teringat kejadian di lift barusan, ketika dirinya mengurung gue di sudut lift dengan tatapan tajam namun sangat menarik untuk dilihat. Ketika jantung gue rasanya mau keluar ketika dia mendekatkan wajahnya. Jadi, seperti ini ya? Seperti ini yang namanya berdebar karena seorang laki laki.
"Mianhae" (Maaf) dia berbisik pelan, sembari melilitkan perban tipis di kedua tangan gue. Melilitnya dengan pelan dan lembut.
"Iya"
Suara gue pelan, lembut tidak sedikitpun ada unsur kekesalan. Gue sendiri dibuat kaget, ini pertama kalinya gue berbicara seperti biasa pada Daniel, tanpa adanya rasa marah yang membuncah.
Gue masih memperhatikan ekspresi Daniel dari posisi duduk gue, mulanya ia sangat serius namun beberapa saat kemudian alisnya tertaut, nampak bingung dan kemudian berubah terkejut. Gue mengikuti arah tatapan matanya, yang sedang memperhatikan pergelangan tangan gue yang ada bekas luka sayatan. Bukan satu tapi banyak.
![](https://img.wattpad.com/cover/135831943-288-k399057.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Falsedad
FanfictionDalam bahasa Spanyol Falsedad berarti sebuah kepalsuan. sama seperti diri gue yang penuh dengan kepalsuan di depan banyak orang. Berpura pura tersenyum. Berpura pura baik. Berpura pura ramah. Apapun itu, tapi semua hanyalah semata mata bentuk pert...