Ada satu hobi yang baru gue lakukan beberapa hari belakangan ini. Setiap pagi, atau setiap malam sebelum tidur. Gue menyempatkan diri untuk melihat walaupun sebentar, Foto Ibu gue. Dalam hati berdoa kepada sang pencipta, agar Ibu berada di tempat yang baik disisiNya dan berdoa agar kami dapat dipertemukan di alam kekal sana nanti.
Menatap foto ibu lamat lamat membuat kedua sudut bibir gue terangkag ke atas. Gue nggak menangis, karena gue percaya Ibu berada di tempat yang baik saat ini. Mungkin hanya sedikit merasa ingat bagaimana kesepiannya gue di hidup ini tanpa didampingi seorang ibu.
Gue memang nggak pernah tau bagaimana rasanya di dampingi seorang Ibu ketika berangkat sekolah, tidak tau rasanya dijemput oleh seroang ibu ketika pulang sekolah. Tidak memiliki teman curhat sebagai sesama perempuan dalam keluarga. Intinya gue nggak pernah tau bagaimana rasa sayang seorang ibu pada anaknya.
Banyak orang bilang ibu adalah segalanya. Sampai saat ini, gue nggak tau persisnya mengapa mereka mengatakan demikian.
Kembali melihat foto beliau adalah pendorong rasa ingin tahu gue dimana beliau sekarang-- i mean dimana abu ibu ditaruh oleh Ayah.
Itu lah yang membuat gue sekarang ini duduk di atas sofa hitam di dalam ruangan bernuansa khas 90-an.
Seorang pelayan wanita dengan seragam hitam putihnya membawa secangkir teh hijau serta beberapa kudapan lainnya. Gue menatap tajam padanya ketika air teh yang berada di cangkir sedikit tertumpah mengenai rok yang gue kenakan sekarang.
"Jeosonghamnida"
"Jeosonghamnida"
Dia membungkuk beberapa kali meminta maaf. Sesekali gue menatap takut pada Ayah yang menatap tanpa ekspresi pelayan tersebut. Dengan cepat gue memberi syarat pada pelayan tersebut untuk segera pergi dari sini. Setelah pelayan itu lenyap di balik pintu. Suasana senyap merambat di ruangan ini.
Gue masih mempertahankan atmosfer ini sebelum Ayah berdeham sebentar.
Setelah menelan ludah dengan ragu gue pun bersuara. "Apa kabar, Dad?"
"Seperti yang kamu lihat"
Dia tersenyum singkat, wajahnya semakin tua di lahap oleh waktu. Kulitnya tidak sekencang dan sebersih dulu, kerutan di wajahnya tidak bisa dibohongi. Rambut gelapnya perlahan lenyap digantungkan oleh uban uban. Tangan nya yang lemah menggenggam secangkir kopi, membuat gue menyadari betapa tuanya Ayah gue sekarang.
Seberapa besar kecewa yang gue pendam. Dia tetap satu satunya Ayah yang gue punya di dunia ini.
Jika selama 24 tahun gue nggak bisa menghabiskan waktu sebagai anak dan Ayah, mungkin sekarang lah waktunya. Sebelum Ayah kembali dilahap oleh waktu dan menua.
"Um, Ayah kurasa lebih baik Ayah memiliki banyak waktu istirahat, sudah ada Chanhee yang mengurus perusahaan"
"Kamu menyuruh Ayah mundur?"
Gue menggeleng cepat. Bukan itu maksudnya, aduh elah. Salah ngomong.
"No, i mean, Ayah harus jaga kesehatan. Ayah juga butuh hiburan, makan yang banyak, tidur yang banyak"
Gue tersenyum kikuk mengakhiri kalimat, kemudian menggaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal itu. Mungkin ini terdengar aneh, kalimat perhatian muncul dari mulut gue untuk Ayah. Ini adalah pertama kalinya.
Bisa dilihat, Ayah sedikit terdiam sambil menatap gue dalam, sedikit terkejut. Beberapa detik kemudian ekspresi wajahnya menjadi lebih hidup. Dia tertawa untuk yang pertama kalinya didepan gue. Kerutan di dekat matanya sangat terlihat, matanya membentuk bulan sabit kebawah. Suaranya khas seorang bapak bapak sedang tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falsedad
FanficDalam bahasa Spanyol Falsedad berarti sebuah kepalsuan. sama seperti diri gue yang penuh dengan kepalsuan di depan banyak orang. Berpura pura tersenyum. Berpura pura baik. Berpura pura ramah. Apapun itu, tapi semua hanyalah semata mata bentuk pert...