Dada gue rasanya sesak, rasa sakit kian membuncah, ditambah Daniel memperlakukan gue dengan kasar. Ciumannya terkesan menuntun, gue nggak suka. Dan merasa tidak dihargai. Bagaikan gadis murahan yang diperlakukan tidak adil. Gue mendorong Daniel menjauh dengan tenaga yang ada, namun apa daya tenaga laki laki memang jauh lebih kuat. Dan gue, masih dalam keadaan syok tragedi penembakan."Dan---niel" Ucap gue sebisa mungkin.
Nafas gue kian menipis, gue merasa udara kian habis dan menghilang. Kepala gue pening dan rasa sakit di bagian dada kian terasa.
Sebuah tarikan kuat membuat tubuh gue oleng ke belakang. Tubuh gue menubruk seseorang yang sigap menopang tubuh gue agar tidak jatuh ke lantai.
"Geumanhae!" (Berhenti!)
Daniel tersengal sengal, matanya kian memerah, melihat gue yang menangis entah di pelukan siapa membuat dirinya merasa bersalah dan menatap gue lemah.
"Gwenchana" Orang itu menepuk pundak gue berkali kali. Gue mendongak, mendapati wajah Minhyun yang tersenyum menenangkan.
"Jangan perlakukan dia dengan kasar, lagi" Titah Minhyun pada Daniel.
Dengan langkah pelan, gue muali menjauh berdiri di belakang Minhyun.
Daniel semakin merasa bersalah, sesekali dia mengusap wajahnya frustasi seperti orang gila.
Minhyun sendiri menepuk bahu Daniel, mencoba menenangkan dan mengatakan kata kata menenangkan.
"Ini tempat umum, selesaikan di lain waktu"
Gue menatap Daniel yang kian melemah, sinar matanya kian meredup, wajahnya murung dan menderita. Menatap gue lemah, kemudian menunduk dalam.
Air mata gue kian jatuh ke lantai. Dilihat dari mana pun, kami berdua memiliki rasa sakit dan derita yang sama karena fakta tersebut. Tidak ada yang diuntungkan, gue hanya berharap ini mimpi walaupun rasanya tidak mungkin. Rasa sakitnya terasa nyata, kesedihannya bukan palsu.
Tanpa sepatah kata, Daniel berbalik. Melangkah menjauh dengan langkah yang gontai, berjalan lurus tanpa menoleh ke belakang barang sedetik pun. Tidak mengatakan hal apapun setelah perlakuannya pada gue yang terbilang kasar, gue merasa terpecahkan meski dia adalah orang yang gue cintai.
_____
"Lo udah baikan nin? Ada yang sakit nggak?"
Suara Inay memecah keheningan ruangan, satu jam yang lalu Anin baru saja bangun dari obat biusnya. Kembali menyapa kami dengan senyumnya, walau belum selebar biasanya. Namun gue dan yang lain nampak lega dibuatnya.
Ruangan ini hanya berisikan kami berempat, Chanhee, Ayah serta Sekretaris Kim sudah tidak disini lagi. Bahkan Minhyun pun sudah menyusul Daniel pergi.
"Sakit-sakit bisa nyengir juga Lo" Tambah Febri.
Gue tersenyum di sofa ruangannya menatap mereka bertiga yang sedang berbincang walau hanya sebatas pertanyaan apakah Anin baik baik saja atau enggak.
Seakan lantai putih lebih menarik, gue pun kini terhanyut dengan pemandangan lantai putih yang nggak ada bagus bagusnya sama sekali untuk ditatap lama lama.
Pikiran gue kosong, banyaknya masalah yang muncul, otak gue menjadi blank. Like, gue nggak tau, beberapa orang pasti merasakan hal ini. Banyaknya hal yang harus di pikirkan, membuat otak seakan di restart ulang, namun hati tidak pernah lupa. Rasa sakit yang menyakitkan itu akan selalu ada.
"Na"
"Na!"
Gue mendongak, mendapati wajah ketiga teman gue yang khawatir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Falsedad
FanfictionDalam bahasa Spanyol Falsedad berarti sebuah kepalsuan. sama seperti diri gue yang penuh dengan kepalsuan di depan banyak orang. Berpura pura tersenyum. Berpura pura baik. Berpura pura ramah. Apapun itu, tapi semua hanyalah semata mata bentuk pert...