Kebenaran

3.6K 744 48
                                    

Rumah besar bercat putih itu masih sama seperti 5 tahun yang lalu. Pagar besar menjulang tinggi keatas, terbuka begitu security melihat sebuah mobil berhenti di depan. Gue menghela nafas lelah, nggak ada gunanya gue berontak Chanhee untuk saat ini. Gue memutuskan membiarkan diri gue kembali masuk dan menapaki area rumah yang pernah gue singgahi ini. Besar, mewah, indah, namun sepi.

Hanya para pelayan dan security yang berkali kali terlihat berjalan kesana kemari, sibuk melakukan pekerjaan nya.

Gue membuka pintu mobil, membiarkan wajah dan tubuh gue diterpa angin sore, memasuki suasana sepi dan familiar yang pernah gue rasakan, kini kembali timbul ke permukaan. Gue menoleh pada Chanhee, ekspresinya tidak bisa ditebak. Dia diam, menatap gue dalam dan berjalan masuk mendahului.

Seiring dengan langkah Chanhee dan gue yang memasuki pintu utama, para pelayan dan security berbaris dan membungkuk hormat. Dalam hati gue muak, ini bukan seperti orang- orang kembali kerumah dengan nyaman, tapi seperti gue yang terjebak dalam acara resmi yang mengharuskan gue mengenakan topeng sebagai Park Sena yang ramah.

Hanya saja, disini gue memutuskan untuk melepas topeng tesebut. Mata gue tajam, kepala ini gue tegakkan , terlihat seperti orang angkuh yang baru saja datang ke rumah.

Kami memasuki ruang tamu yang sangat besar dan berisikan sofa berwarna hitam. Masih sama persis seperti terakhir kali gue melihatnya.

Langkah Chanhee di depan membawa gue menuju pintu besar berwana coklat kayu yang tua.

Gue menggigit bibir gue pelan, mengetahui bahwa ini adalah ruang kerja Ayah. Ruangan yang nggak pernah gue masuki sebelumnya.

Tangan Chanhee baru saja hendak meraih gagang pintu, namun gue tahan dari belakang.

"Gue takut" bisik gue pelan.

"Nggak perlu ada yang Lo takutin, dia Ayah Lo" balas Chanhee. Tangannya yang sebelah kiri menepuk bahu gue pelan.

"Ada gue" lanjutnya lagi.

Gue menarik napas panjang dan membuangnya dengan perlahan. Tangan Chanhee kembali menyentuh gagang pintu, seiring dengan tangannya yang memutar gagang pintu, seiring itu juga lah jantung gue berdetak nggak karuan. Panik dan khawatir tanpa alasan.

Cklek

Hal yang pertama kali gue lihat adalah jam tua antik berwarna coklat tua yang berdiri kokoh di sebelah lemari besar berisikan buku buku tebal.

Gue mengedarkan pandangan ke ruangan besar yang serba antik ini, mulai dari kursi, pigura dan desain temboknya pun semuanya bertema zaman 1900an. Gue tertegun, selama lebih dari 24 tahun, gue baru tahu kalau Ayah memiliki minat di benda benda antik.

Langkah Chanhee berjalan ke arah meja kerja yang di atasnya terdapat banyak kertas serta satu laptop.

Di balik meja, duduk lah seorang pria tua yang menatap kami berdua dibalik kacamatanya. Rambutnya sebagian memutih, tangannya mulai keriput seiring waktu berlalu.

Hati gue mencelos, dan kemudian mengikuti Chanhee yang berjalan menghampiri Ayah kemudian membungkuk hormat bersamanya.

"Masih ingat rumah rupanya"

Perkataan Ayah yang singkat namun menohok itu membuat gue tersenyum kecut.

Chanhee kini berjalan ke arah sofa kemudian menyuruh gue duduk di sampingnya.

"Sapa Ayah sekarang" bisik Chanhee di telinga gue.Gue menatap nya kaget, kemudian menggeleng enggan. Gue nggak mau, sumpah.

"Atau Lo bakalan balik ke apartement tanpa informasi apa apa" jawabnya.

Falsedad  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang