- V -

710 56 5
                                    

♞

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Samith duduk di kursi sambil menyeka telapak tangannya dengan kain putih basah yang telah di campur dengan alkohol cukup banyak.

Robekan luka itu seharusnya di jahit bukan hanya di basuh asal, namun pria ini tidak akan pernah ingin melakukan hal itu.

Malam ini masih saja hujan walau tidak sebesar sore tadi. Samith sedang duduk di ruangan yang setahun lalu di bangun oleh anak buahnya. Sebuah ruangan dari rumah elit yang memiliki warna dinding gelap.

"Kau melakukan apa lagi, Tuan?" Robbert mencoba bersuara walau terlihat sedikit linu hatinya saat melihat Samith melilitkan perban secara kasar ke telapak tangan itu yang masih mengeluarkan darah walau tidak sebanyak di awal. Sebenarnya yang terluka adalah bagian telapak tangan, tapi karena pria ini menyentuh lengan sebelumnya, jadi luka seakan berasal dari sana.

Suara robekan tidak lagi terlalu mengusik diri, kini yang menjadi perhatian justru darah yang belum juga berhenti walau sudah beberapa kali mengganti kain basah untuk menyeka.

Samith tidak menunjukkan ekspresi apapun, sehingga membuat anak buahnya bertanya-tanya dalam diam. Pria ini hanya sibuk membersihkan luka dan menahan kebas.

"Hanya mengetes pisau." Dan seperti biasa, Samith akan menjawab dengan malas tanpa ada niat untuk bergurau. Mendengar nada acuh seperti itu membuat Robbert menggelengkan kepalanya. Ia merasa pria itu sangat menakutkan, bahkan lebih mengerikan dibandingkan sewaktu masih di New Orleans.

"Kau membunuh lagi?" Robbert sepertinya tidak akan berhenti bertanya begitu saja, kali ini kalimatnya lebih hati-hati. Rasa menyesal sedikit ia rasakan saat bertanya mengenai hal itu saat ia melihat wajah yang tanpa ekspresi mulai menunjukkan rasa tidak suka.

Samith memang bukan pria ramah, jadi tidak peduli betapa rendah nada yang dihempaskan, pria itu mudah marah dengan hal kecil.

"Tidak, aku sudah katakan hanya mengetes pisau." Well, suara Samith masih lebih baik seperti awal, dan masih sibuk melilitkan perban itu.

Mereka yang melihat untuk beberapa waktu tetap bungkam. Malam terasa masih akan panjang, jika memancing nada lebih banyak pasti akan melebihi argumen semata.

Tapi melihat luka yang diperlihatkan oleh telapak tangan terlihat bukan sekadar mengetes pisau, di sana menyimpan lebih banyak arti dari yang seharusnya.

Jika Robbert hanya mengatakan nada Dnegan nada hati-hati, tapi tidak bagi Bobby. Pria ini seakan merasa geram dengan yang dilihatnya ini. Napa memang tujuan mereka untuk melakukan pembalasan atas apa yang belum selesai di masa lalu, tapi jika terluka di waktu awal, bahkan tahun saja belum berganti, bukankah itu sangat berlebihan.

A Pianist Say Good Bye √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang