-XVIII-

486 57 8
                                    

Detakan jarum jam di siang hari masih terus berjalan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Detakan jarum jam di siang hari masih terus berjalan. Hembusan napas yang berbeda satu sama lain terus menemani waktu. Bahkan debaran jantung yang berpacu ikut berperan dalam keadaan mencekam saat ini. Tidak terjadi luka dan pukulan, memang itu semua tidak terjadi di sini. Tapi saat ini pertanyaan besar terjadi dan sepertinya harus dijelaskan dengan terperinci. Semakin diam dan membisu, maka hasil yang terjadi akan semakin buruk pada. Karena ketika bibir bungkam maka mata yang diberikan pianis itu semakin tajam melebihi ujung pisau yang mengkilat. Semakin rapat bibir mereka, akan juga semakin keras gertakan rahang bagi pemilik mata tajam itu.

"Kenapa kau bungkam! Sejak kapan kau menjadi pendiam, Robbert." Sifat alami manusia adalah, ketika rasa penasaran Yanga da di dalam diri semakin besar, maka akan semakin besar juga emosi yang terjadi jika tidak segera diwujudkan. Dan seperti itulah yang sedang terjadi dengan pianis ini, setiap kata yang ia lepaskan menekankan rasa penasaran tinggi.

Bahkan bukan hanya sekadar lisan yang menegaskan kata penasaran, tapi matanya yang menatap tajam diri Robbert yang memandang arah lain emnejlaskan bahwa Samith sudah terlalu kesal. Robbert bukan tipe pria yang meskipun gemetar akan menunduk, tapi ia hari ini entah kenapa lebih memilih terlihat gemetar di hadapan Kim Bum dibanding harus menghilangkan kontak mata dengan pianis itu. Ada jiwa kesombongan juga Yanga da pada anak buahnya itu, dan hal ini membuat pianis ini tersenyum miring dibalik gertakan diantara kedua rahangnya.

"Mungkin itu hanya sekadar ucapan kosong, Bos." Bobby mencoba ikut dalam suasana ini, walaupun dirinya sadar kehadirannya tidak banyak dibutuhkan.

"Aku tidak bicara denganmu, jadi diamlah!" Samith tidak sedikitpun melepaskan tatapannya pada Robbert yang masih terus bungkam. Ketika rasa kekesalan bertambah besar, pada akhirnya pianis ini tidak bisa lagi diam. Semua penekanan kata yang ia berikan terasa menyebalkan saat diabaikan, sehingga ia mengangkat tangan dan menyentuh bahu Robbert dan membuat pria ini secara langsung menatap pianis itu.

"Apa yang spesial? Aku benci kebisuan. Jangan memancing kesabaranku, Rob!" siapapun tidak akan suka dengan seseorang yang bungkam ketika sedang diperlukan. Banyak yang ingin ditanyakan oleh Samith sebenarnya. Bukan hanya tentang kata yang dihempaskan, tapi juga kenapa pembicaraan menjadi asing seperti ini.

Samith menajamkan tatapannya, ia bisa saja akan memukuli Robbert tanpa memandang status pria ini untuknya. Pianis ini bisa melakukan apapun ketika emosi dalam diri sudah melewati batas. Tapi saat sentuhan tangan yang ada di bahu itu mulai membuat gerakan kasar, ada dehaman kecil yang diberikan oleh Robbert.

"Maksudku__"

" Aku benci berbohong, jadi sebaiknya kau tidak melakukan itu!" masih tentang nada yang kasar, dan pianis ini melakukannya. Samith yang tahu pasti bahwa akan ada niat Robbert untuk berbohong padanya memberikan peringatan melalui tatapan tajamnya.

"Siapa yang memiliki hati spesial untuk-ku? Spesial dalam katagori apa maksudmu?" Ada banyak arti dal kata spesial, dan tidak terbatas. Pertanyaan kedua yang dirinya hempaskan entah kenapa membuat Samith justru bertambah kesal. Kerutan di dahi mulai ditunjukkan oleh Samith dan hal itu membuat Robbert sangat yakin jika sifat pianis itu yang  biasanya kejam akan hadir. Haruskah ia jujur? Robbert merasakan begitu buruk saat ini bahkan ketika ia mencoba mengalihkan tatapannya pada Bobby, rekannya itu juga sepertinya merasakan keburukan yang sama dalam situasi ini.

A Pianist Say Good Bye √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang