-XLV-

298 25 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terdiam membisu dengan segala rasa dan merasakan kecepatan waktu yang terus mengurai kisah, semua seperti tindakan orang-orang yang tidak memiliki sama sekali kesibukan dalam kehidupannya. Kisah yang lambat laun semakin mengikis rasa telah merubah banyak sekali fantasi dalam hidup. Dan sialnya rasa yang dirangkai adalah rasa semakin lama membawa luka. Pada akhirnya luka itulah yang terpenting membuat hati seseorang memiliki sebuah cerita.

Gelap, bahkan terlalu gelap keadaan di dalam diri. Walaupun pernah ada sinar yang terlihat di setiap langkah, tapi kekosongan jelas diperlihatkan dan terang-terangan terbaca oleh mata yang telanjang. Bahkan kesunyian yang sangat sunyi begitu terasa. Walau ada beberapa kebisingan kecil dari suara angin yang mengganggu gendang telinga, bahkan masih sangat sepi. Dan sakit, bahkan terlalu sesuatu yang dirasakan, dan pasti akan sangat sakit jika saja waktu berhenti tidak sesuai keinginan atau berhenti disaat yang tidak tepat.

Pria ini duduk dengan rahang rapat di sisi ranjang. Ranjang yang besar dengan suara kotak musik yang terus terdengar. Suara nada piano dari kotak musik emas kunonya mulai mengusik kesunyian. Dalam kebisuan yang bertahan di sini matanya mulai menerawang ke sebuah bingkai yang tergelatak tanpa pernah lagi disentuh.

Bingkai yang di mana kaca itu telah retak, memperlihatkan ketidakpedulian si pemilik. Sebenarnya bukan karena ketidakpedulian yang tercipta, demi apapun pria ini bahkan masih sangat menginginkan benda itu untuk ia peluk. Hanya saja saat tadi tangannya beberapa waktu lalu ketika ingin menggapai, tapi bingkai itu terlepas dan terjatuh.

Kini air matanya telah lelah untuk datang dan tidak sanggup lagi jika harus menjadi satu dengan rasa remuk di sekujur tubuhnya yang semakin hari semakin tidak menentukan. Kehidupan di masa yang akan datang entah seperti apa, pria ini tidak lagi memiliki bayangan untuk kehidupan selanjutnya. Yang dirinya miliki saat ini hanya kata retak, dan mendekati kata hancur.

Samith masih terdiam dengan tangannya yang gemetar. Tangan yang diperban itu terlihat gemetar, tidak menunjukkan perubahan dari beberapa waktu lalu. Robbert yang melihat keadaan ini hanya menyandarkan punggungnya pada sebuah dinding di luar kamar sunyi itu. Air matanya mengalir disela-sela isakan kecil yang sekuat tenaga dirinya tahan agar tidak bersuara. Melihat pianis itu tidak memiliki semangat lagi membuat ia ingin sekali menghabisi nyawanya sendiri, seakan ia tidak sanggup menyaksikan ini semua.

"Kenapa kau melakukan ini, Camryn!" hati yang tertekan di dalam sana memberikan suara, seperti menyebarkan rintihan saat tangan Robbert memukul-mukul dadanya sendiri yang sakit ketika mendengar suara Samith dengan penekanan sambil menahan penyesalan.

Bekali-kali pianis malang itu memekik untuk memaksa tangannya bermain lagu. Dan ketika pianis itu terus saja memaksakan kehendak, maka berkali-kali Robbert harus melihat Samith memukul tuts piano itu dengan sangat kasar. Bukan hanya tidak memiliki semangat hidup lagi, tapi painis itu juga telah kehilangan semua mimpi-mimpinya. Hidup ini terasa sangat tidak adil untuk pria itu, dan sungguh Robbert tidak sanggup melihat semua ini lebih lama lagi.

A Pianist Say Good Bye √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang