"Astaga, Samith!" keadaan yang terjadi malam ini bukan hanya tentang malam yang gersang tanpa hujan, tapi yang lebih mengejutkan adalah tentang seorang pria yang pergi dengan baik-baik tapi kembali dengan penuh dengan luka.
Robbert dan Bobby tidak pernah menyangka jika kepergian pianis itu yang hanya beberapa jam saja sudah begitu parah. Mereka berdua tahu jika sebelumnya Samith telah mengeluh tentang rasa sakit dan tubuh panas karena alergi. Tapi mereka berdua tidak menyangka saat pintu rumah kembali di buka justru yang perlihatkan adalah luka parah.
Pekikan penuh keterkejutan itu terlepas bersamaan saat Samith memasuki rumahnya dengan wajah pucat dan kepala diperban. Waktu hampir menunjukkan tengah malam, dan bukan tentang itu yang ingin mereka perdebatkan.
Sebelum pergi ke toko pianis itu memang sudah mengatakan akan pulang larut, tapi Bobby kelas memberikan saran untuk pria itu kembali sebelum jam sepuluh malam. Sekarang hampir jam dua belas lewat, dini hari bahkan hampir saja menginjakkan kaki di waktu bumi. Pemandangan seperti benar-benar kejutan yang parah bagi mereka yang berada di rumah.
Perban itu terlihat tebal, dan dari depan memang kepala Tidka terlihat terluka. Tapi saat kaki melangkah ke dalam, maka luka di belakang kepala jelas terlihat. Darah seakan merembes dari sana. Janne memang sempat mengantarkan Samith ke rumah sakit untuk mengobati luka serius itu, dan setidaknya meskipun mendapatkan beberapa jahitan di kepala tapi kondisi saat ini jauh lebih baik.
Harusnya pianis itu bermalaman di rumah sakit, tapi tentu saja pria itu menolak dan tidak ingin menghabiskan malam dalam rumah sakit, pianis itu sangat benci sesuatu yang berkaitan dengan rumah sakit. Saat ini hanya langkah kosong yang dilakukan Samith ketika memasuki rumah, wajahnya yang masih pucat sepertinya akan bertahan semalaman.
Semua hening tidak bersuara bahkan Chrystal yang biasanya akan manja menjadi bisu seketika saat melihat luka yang diperlihatkan. Hatinya tertusuk dengan keadaan Samith saat ini, pria yang selama ini selalu menjaga diri hanya dalam waktu beberapa jam saja sudah terluka parah.
Samith mencoba merilekskan diri, ia duduk di sofa dan menutup kedua matanya dengan perlahan. Seorang wanita yang saat ini sedang memegang pisau terpaku ketika melihat kepala pianis itu dililit perban tebal. Darah masih keluar menembus perban itu.
"Pendeta. Aku butuh seorang pendeta!" cukup lantang ujaran itu membuat keadaan di rumah yang besar ini begitu suram dan mencekam. Bahkan disaat dirinya tidak memungkinkan untuk bersuara, pianis masih mengingat janji seseorang.
Jika ada sesuatu yang diucapkan tidak dengan kata-kata yang mengejutkan, maka semua ini tidak akan menjadi pertanyaan. Samith tidak pernah mengungkit tentang tempat ibadah, apalagi tentang Pendeta. Ini bukan hanya sesuatu yang baru, tapi juga tabu bagi mereka. Pendeta adalah kata yang tidak cocok bagi mereka, ada apa dengan pianis ini. Apa karena hantaman di kepala telah memengaruhi tingkat kewarasan seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pianist Say Good Bye √
RomanceSamith Honours, adalah seorang pianis dan Bos Besar muda, dengan sifat angkuh, seangkuh tuts piano menghantarkan setiap nada. Dia sudah lama menghilang semenjak perencanaan brutal orang-orang atas pembedahan otaknya secara paksa tanpa dia sendiri ta...