-XXIII-

517 55 7
                                    

Pagi telah tiba dan embun yang segar dapat tercium dengan bebas jika saja jendela besar di sini di buka dan balkon tidak di kunci

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi telah tiba dan embun yang segar dapat tercium dengan bebas jika saja jendela besar di sini di buka dan balkon tidak di kunci. Kicauan burung kecil yang biasanya selalu menyapa mulai bersenandung ria. Matahari belum seutuhnya tinggi tapi cahaya sudah masuk ke dalam dan menghangatkan tubuh.

Samith perlahan membuka matanya dengan sedikit kesulitan. Ia merasakan pusing di kepalanya. Pria ini ingat memang semalam ia sempat meneguk wine cukup banyak, tapi tidak ada hal lainnnya, hanya sekadar alkohol. Ia perlu melakukan semua itu, karena jujur saja semalam pikirannya kacau dan sudah lama juga dirinya tidak menikmati minuman itu.

Memang ia sering minum alkohol, tapi tidak sebanyak tadi malam. Pikiran kusut dan beban yang menimpa diri, membuat dirinya harus melupakan apa yang menimpa. Sial! Wine ternyata sama buruknya dengan narkoba, dan entah kenapa lagi ini ia baru merasakannya.

Samith perlahan duduk dengan masih beberapa kali memijat pelipis, ia belum mengerti apapun tentang pagi ini. Tidak ada sesuatu yang aneh yang dirinya rasakan, hanya saja ia merasa sedikit berbeda. Ini terlalu pagi untuk ia dapat bangun pagi. Pianis ini memiringkan kepalanya untuk mengatur tingkat rasa pusing yang masih terasa berat.

Keadaan pagi yang  cerah harusnya membuat keadaan diri juga sama cerahnya. Tapi entah kenapa dentuman di kepala menusuk diri. Sambil memijat pelipis pianis ini mencoba mengedarkan pandangan ke segala arah. Dan ia dengan tiba-tiba terdiam saat melihat wanita kecil itu duduk atas di ranjangnya sambil menekuk kedua lututnya. Wanita itu terlihat tidak menggenakan apapun selain selimut coklat tebal untuk menutupi tubuhnya yang polos.

Samith dapat melihat Camryn menangis dalam diam dan matanya menatap lurus ke depan. Pianis ini menekuk alisnya, ia meninggalkan tangan yang tadi memijat pelipis untuk berpikir apa yang terjadi semalam. Ia sedang mencoba menebak apa yang telah dirinya lakukan. Sialan, kenapa semua ini seperti menjerumuskan dirinya, seakan wine menjadi musuh seperti para bajingan yang ada di belakang sana.

Cahaya matahari membuat siapa saja memicingkan mata, tapi bukan karena itu yang sedang pianis ini rasakan sehingga matanya memicing. Pemandangan sosok wanita yang telanjang dan berantakan, serta menahan emosi, semua itu menjadi alasan kenapa ia memicingkan mata. Mulut wanita itu bahkan mencabik kata dengan lucahan, dan desisan kasar.

Samith masih memicingkan mata, dan ia mencoba bergerak ketika merasakan dingin di bagian kejantanannya. Sial! di sana dingin? Dengan gerakan lambat ia menahan napas dan menatap ke bawah. Disisan kasar sekarang hadir dari mulutnya sendiri saat ia mulai menyadari bahwa dirinya sendiri pun tidak menggenakan pakaian pun. Keparat! seketika pianis ini terdiam saat matanya juga melayang ke segala arah dan melihat beberapa bercak darah di seprei putihnya. Kata lucahan miliknya terjadi cukup lama hingga beberapa menit, dan ia sadar bahwa semua desisan tidak akan pernah bisa menghilangkan noda yang telah terlihat mata.

Setelah sekian menit ia merancau kesal, kali ini tidak ada desisan lagi, hanya ada sedikit permasalahan pada napasnya sendiri. Samith mengembuskan napas dengan berat lalu dengan satu kali memicingkan mata ia bergerak dan berdiri meninggalkan ranjang. Pria ini meninggalkan tatapannya pada sosok wanita yang sedang menekuk wajah di atas ranjangnya, lalu berjalan santai dengan tubuhnya yang polos ke dekat sofa yang memperlihatkan celana dalamnya. Ia berniat memakai celana dalam itu, tapi dirinya gagalkan dengan lebih memilih bertelanjang. Bibir rapat dari pianis ini masih diam dan enggan untuk berbicara, hanya tubuh berototnya yang seperti menahan kekesalan.

A Pianist Say Good Bye √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang