Fertoe hanya berdiri dengan kaki gemetar saat menghadapi anaknya sendiri di hadapannya. Samith terlihat begitu tegas dan geram dengan tetap bertahan memakai kaca mata hitam itu. Berkali-kali pria ini mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat sebagai pelampiasan ketakutan. Putranya tidak sedikitpun menoleh ke arah lain, pandangan pianis itu terkunci dengan dirinya yang saat ini bungkam.
Darah mereka memang sama, dan tidak akan ada yang meragukan hal itu. Hanya saja saat sesuatu telah menimpa diri, tentu saja keadaan diri akan terlihat berbeda. Dulu boleh saja Fertoe merasa dirinya yang terkuat, tapi itu saat diri masih muda.
Sebenarnya saat ini ia bisa saja masih bisa menjadi yang terkuat, tapi sayang sifatnya telah luntur saat apa yang telah menimpa putranya. Fertoe tidak lagi bisa se-egois dulu, meskipun sebenarnya ia sedang egois di sini.
"Di mana sertifikat itu, Fertoe?" ada nada rendah yang pertama-tama di keluarkan, dan pianis itu hanya terdengar seperti menagih sebuah nyawa yang harus segera dibayar. Walaupun nadanya rendah tapi nada itu bisa dikatakan bisa mengguncang jiwa. Fertoe berkali-kali mengertakkan kedua rahangnya karena tidak tahu harus berkata apa saat ini. Tidak ada yang membantunya berbicara hingga lehernya seperti tercekik dengan satu pertanyaan ini.
Samith datang tiba-tiba, dan tanpa banyak bicara pria itu langsung membahas apa yang ingin dicari. Jika hubungan mereka normal, mungkin ada sedikit sapaan atau pelukan singkat dalam bahasa para lelaki. Tapi abnormal dalam hubungan menjadi begitu kaku, hingga sangat tidak dipergunakan kata sapaan itu.
"Aku tidak akan memberikannya padamu!" entah berapa kalipun pianis itu menagih, maka jawaban yang diberikan akan tetap sama. Fertoe tidak akan memberikan apapun yang dicari pria itu, termasuk jika pianis ini ingin mencari wanita sialan itu. Sertifikat tidak diberikan karena penting, tapi wanita itu tidak diberikan karena takut akan melukai.
Camryn dan sertifikat tidak bisa disamakan, mereka berdua adalah jenis kepentingan yang berbeda. Dengan suara tegasnya tadi Fertoe berharap putranya tidak akan terus keras kepala untuk menagih. Walau sebenarnya pita suaranya terkuras karena ketakutan, tapi Fertoe benar-benar harus terlihat sama kuat seperti malam na'as waktu itu.
Samith tersenyum miring dengan jiwa sok milik ayahnya itu. Dengan mendesah ia mulai berdiri santai, dan menelengkan kepala sambil melipat kedua tangan di depan perutnya. Ia perlu memiringkan kepalanya sejenak untuk memberikan kesan lebih dalam pada senyum miringnya. Ia bergerak untuk menyandarkan punggungnya ke dinding putih bersih. Pada saat ayahnya masih bungkam, ia mulai bermain pada bibirnya seperti bersiap untuk mengatakan segala ujaran yang menyesatkan.
Fertoe melihat ke segala arah untuk mencari jalan agar bisa melarikan diri dari pianis ini. Mungkin tindakannya menjelaskan bahwa ia memang pecundang, tapi Fertoe sama sekali tidak peduli. Gerakannya memang samar-samar tapi tentu saja hal itu dapat ditangkap dengan mudah oleh kedua mata pianis ini yang berlapis kaca hitam itu. Meskipun matanya sembab tapi Samith sama sekali tidak terlihat menyedihkan, ia masih bisa berpura-pura untuk lebih baik di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pianist Say Good Bye √
RomanceSamith Honours, adalah seorang pianis dan Bos Besar muda, dengan sifat angkuh, seangkuh tuts piano menghantarkan setiap nada. Dia sudah lama menghilang semenjak perencanaan brutal orang-orang atas pembedahan otaknya secara paksa tanpa dia sendiri ta...