Robbert keluar dari ruangan kerja Samith dengan sedikit malas. Tidak ada kerjaan yang harus dirinya lakukan saat ini, karena semua kesibukan yang ia miliki telah di ambil dan dijauhkan. Wajahnya terlihat masam, bahkan kekesalan masih belum hilang padahal selain dengan kertas-kertas itu ia masih bisa melakukan hal lain.Sebenarnya bukan hanya tentang hal kertas yang tidak dirinya sukai, tapi juga tentang fakta bahwa pianis itu masih juga belum ingin membuka mulut padahal dengan jelas perbedaan telah terjadi.
Dengan langkah yang malas Robbert memilih untuk pergi ke dapur, mungkin dirinya bisa menemukan sesuatu yang menarik di sana. Satu kaleng bir juga menyenangkan, jadi untuk apa dirinya terus menggerutu tidak senang. Tapi ketika langkah malasnya dipengaruhi oleh mata yang melihat sesuatu, entah kenapa dirinya merasa ingin segera sampai ke dapur.
"Apa yang kau lakukan, Camryn?" Robbert mendesis sambil bertanya ketika melihat Camryn yang sepertinya sedang membuat sesuatu.
"Segelas susu. Aku ingin membuatkan Samith susu hangat di musim semi ini." Apa wanita ini waras. Jangankan susu, bahkan teh yang biasanya menyehatkan saja selalu ditolak. Semenjak pianis itu memberikan sedikit kebebasan, sepertinya wanita ini semakin menyebalkan untuk bersikap seenaknya sendiri.
Dengan acuh tanpa memedulikan ekspresi wajah orang yang sedang di ajak bicara, wanita ini mengaduk susu itu dengan sendok, dan gerakannya terlihat bahagia sekali.
"Kau benar-benar sehat hari ini, kan? Ayolah, susu? Jangan becanda! Samith bukan tipe orang yang menyukai minuman manis jenis itu. Batalkan saja niatmu, kau hanya akan diremehkan olehnya." Mungkin wanita ini bukan hanya sekadar diremehkan, tapi juga mendapatkan sedikit desisan yang kasar. Lagipula bukankah ketika orang sedang jatuh cinta maka orang itu akan mencari tahu apa yang disukai dan tidak disukai calon kekasihnya itu, jadi kwnapaw Anita ini tidak mencari tahu lebih dulu apa yang dibenci pianis itu.
Robbert kembali tersenyum dengan ketus. Ia mengendikkan bahu dan berjalan melewati bahu Camryn lalu mengambil satu kaleng kecil minuman soda di dalam lemari es.
"Mungkin memang pria itu akan menolak, tapi aku akan mencoba memaksanya. So, di mana Samith sekarang?" kalimat sok percaya diri yang dihempaskan wanita ini membuat Robbert menggelengkan kepala dengan tidak percaya, ia bahkan malas untuk menunjukkan keberadaan pianis itu dengan mudah.
"Ayolah, paman Robbert, katakan saja. Sebelum susu ini menjadi dingin, aku harus mengantarkan padanya." Bukan hanya sekadar tingkah laku yang membuat wanita ini terlihat begitu menyebalkan, tapi juga susunan kata-katanya. Setiap nama yang disebutkan bahkan memiliki perbedaan.
Sejak kejadian di mana wanita ini resmi dibebaskan dalam hukuman, semenjak itu itu juga mulut sialan ini memanggilnya paman. Memang tidak masalah hal itu dilakukan, tapi dipanggil seperti itu oleh anak musuh rasanya aneh dan mengesalkan.
"Kau pasti akan di tolak!"
"Katakan saja di mana, pleaseeee.."
"Geez! Kau benar-benar merepotkan. Ia sedang berada di ruang kantornya yang ada di lantai paling bawah. Kau dapat menggunakan elevator untuk menuju ke sana." Robbert berujar dengan sedikit keras karena ia mulai berjalan untuk keluar dari dapur. Walaupun panggilan seperti itu terasa sangat menyebalkan, tapi setidaknya ada euforia yang berbeda di rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pianist Say Good Bye √
RomansaSamith Honours, adalah seorang pianis dan Bos Besar muda, dengan sifat angkuh, seangkuh tuts piano menghantarkan setiap nada. Dia sudah lama menghilang semenjak perencanaan brutal orang-orang atas pembedahan otaknya secara paksa tanpa dia sendiri ta...