-XXXIV-

484 57 11
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bobby menahan emosinya terhadap ulah Samith. Pria ini sering kali merasa kesal jika pianis itu harus bertaruh seorang diri tanpa membutuhkan bantuan. Mesipun pria itu mengaku memiliki jiwa yang kuat tapi pianis itu tetaplah manusia sosial yang di mana membutuhkan bantuan orang lain. Bobby menyeka dahinya ketika baru saja selesai memeriksa dan mengobati luka Samith yang terlihat parah.

Luka itu tidak mudah untuk diobati karena ia dan beberapa anak buah yang membantu untuk mengeluarkan peluru di leher pianis ini merasakan kesulitan. Sebelumnya pernah ada luka tusuk yang membuat perut harus di sayat, dan kini mereka tidak bisa mengeluarkan peluru tanpa membuat sayatan lagi. Sial! Bahkan kesulitan yang mereka hadapi bukan tentang peluru saja, tapi juga ketika membalut bahu pianis karena tusukan pisau. Semua luka yang didapatkan malam itu telah mengenai tato pianis itu hingga membuat mereka yang mengobati merasa terkejut.

Tentu saja bukan karena darah yang melumuri tato yang membuat mereka tersentak, tapi kenyataan arti dari setiap tato yang terdapat. Semua gambar yang mengisi tubuh Samith adalah pemberian Johanna sebagai tanda bahwa pianis itu harus hidup dengan jalan yang sedikit berbeda. Setiap ukiran di sana seakan dijadikan sebagai bukti bahwa pianis itu adalah keturunan sah seorang wanita terpandang, dan wanita luar biasa sehingga kelak meskipun ada kematian maka pria itu tidak akan dicemooh oleh dunia.

"Apa dirinya baik-baik saja? Aku dengar pembuluh darah di dalam otaknya pecah. Apakah itu akan membuat keadaannya semakin buruk?" bukan kabar baru jika luka dalam pianis itu dibahas, tapi akan menjadi hal baru untuk dipertanyakan oleh rekannya. Bobby sebenarnya Tidka ingin membahas tentang luka fatal yang didapatkan Samith, tapi Robbert sepertinya wajib untuk tahu, biar bagaimanapun juga pria ini adalah pamannya.

Bobby mendengkus perlahan ketika ia menyelesaikan tugas dan melepaskan sarung tangan karet. Ia membiarkan yang lainnya keluar terlebih dahulu dari kamar pianis ini yang berada di lantai dasar. Dan desahan kembali datang saat ia mempersilakan Robbert untuk masuk ke dalam menutup pintu dengan rapat.

Sejenak Bobby membenarkan letak kaca matanya dan menarik kursi untuk duduk. Ia sengaja mengajak rekannya ini untuk berbincang di dalam kamar. Pianis itu sudah disuntik obat bius, apapun yang mereka bicarakan tidak akan terdengar.

Setelah semua luka yang didapatkan tentu saja pria itu harus tertidur lama, setidaknya sekitar beberapa hari ke depan. Bobby menatap ke arah Samith yang terbaring dengan perban di perut dan bahunya. Pria itu terlihat mengerikan, selain karena perban, tapi juga karena infus yang terpaksa harus dipasang lagi untuk membuat tubuhnya ternutrisi.

"Tidak begitu buruk. Tapi malam itu membuat dirinya akan sangat lemah dalam beberapa hari ke depan." Bobby meneguk air di dalam gelas di dekatnya duduk, lalu menarik napas dengan berat. Rasanya i ingin sekali memaksa pianis ini untuk melakukan operasi kepala sekali lagi sebelum kanker otak itu menjalar lebih luas nantinya. Tapi sebelum ia memaksa hal baik, entah kenapa kesialan datang kepada mereka.

A Pianist Say Good Bye √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang