-XVII-

493 55 7
                                    

Bobby berdiri dengan kaku di lantai dasar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bobby berdiri dengan kaku di lantai dasar. Tangannya terus diremas-remas dan bibir bawahnya terus digigit karena merasakan takut luar biasa di siang hari ini. Ini bukan sesuatu yang baik, karena pria ini tahu sepertinya ia akan menjadi semakin bodoh hanya sekadar diam sejak tadi. Telinganya bahkan tidak cukup mampu bertahan mendengar jeritan wanita kecil itu yang berada di dalam kamar pianis yang sedang marah itu.

Air mata mengalir di pipi cekung miliknya. Bobby menelan ludahnya berkali-kali, meskipun di sampingnya sudah terdapat Robbert yang baru tiba lima menit yang lalu, tapi tetap saja semuanya masih terlihat buruk di matanya. Lagipula pria ini yakin jika rekannya yang baru datang itu juga merasakan kesal saat mendengar teriakan itu.

"Berengsek!" Robbert yang merasa kesal dengan telinganya karena tidak kuat mendengar histeris itu pada akhirnya mengeluarkan pekikan. Dalam jeritan di dalam Camryn bukan hanya sekadar kesakitan tapi juga memohon ampun.

Sial! Ia tidak menyangka jika keadaan memang seburuk ini. Robbert pikir ketika Bobby menghubunginya hanya ada masalah sepele. Dirinya memang yang jika Samith tipe pria yang suka emosi, dan lagipula bukan hal baru jika pianis itu marah-marah pada anak Nelco itu. Tapi sepertinya ini sudah di luar batas, Samith terlalu berlebihan.

Rumah ini yang tidak terlalu banyak barang-barang atau hiasan entah kenapa terasa sesak. Bahkan lukisan saja tidak satupun terlihat memenuhi dinding, tapi entah kenapa setiap kali mata memandang ke sana seperti ada paku yang siap menusuk lensa. Bangunan ini jika dari luar akan sangat pantas disebut istana tapi tentu saja ketika di dalam akan sangat pantas disebut sebagai bangunan kosong tidak berpenghuni.

Robbert terus menanti keluarnya Samith dari kamarnya. Ada penerbangan gila yang dirinya lakukan ketika rekannya mengatakan jika pianis itu menjadi gila, dan Robbert ingat jika dirinya hampir saja mengalami kecelakaan saat mengendarai mobil ke sini. Belum ada satu Minggu ia meninggalkan rumah, dan keadaan sudah seburuk ini. Benar-benar luar biasa!

Rasanya lama sekali ketika menungvu, bahkan rasa lelah dari penerbangan belum seberapa dibandingkan dengan lelah menanti pianis itu datang. Waktu sudah menunjukkan jam sebelas setengah satu siang dan itu sangat tidak pantas lagi jika masih dikatakan pagi oleh pianis itu. Di bawah sini Robbert merasa bukan hanya dirinya yang geram, tapi juga rekannya. Saat melihat Bobby terus memejamkan matanya dan mendesis, ia tahu pria itu merasa sangat kesal. Bibirnya tidak bisa diam untuk menahan gemetar, Bobby sangat kacau dan Robbert pun merasakannya.

Robbert cukup mampu menahan diri disaat ini. Ia merupakan pria yang tangguh dan pandai dalam mengontrol diri, jadi meskipun ia geram tapi bibirnya tidak akan gentar seperti Bobby. Tapi meskipun begitu, Robbert tidak bisa bertahan lebih lama, karena terkadang ia akan sangat marah jika pianis itu tidak berjalan sesuai dengan janjinya. Robbert benci pria pembohong apalagi ingkar janji, dan jika semakin kacau seperti ini jiwanya yang seperti paman akan keluar.

Teriakan itu sudah tidak terdengar dan suara gagang pintu yang mulai dibuka mulai terdengar. Bobby dengan segera menghapus air matanya. Ia memang pria yang peka, dan sialnya mendekati kata cengeng. Terkadang pria ini akan menakutkan jika merasa terganggu, tapi bukan saat ini.

A Pianist Say Good Bye √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang