-LVIII-

380 38 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tidak ada luka yang dapat bertahan dengan mata kering. Tidak ada juga tangan yang tidak gemetar dengan segala beban yang disembunyikan dalam diri. Semua luka selalu mendatangkan tangisan dan rasa gemetar, tidak bisa dijauhkan dari keadaan seperti itu. Bahkan sekalipun diri ingin mengelak bahwa keadaan baik-baik saat sedang terluka, tetap akan ada rasa sesak di dalam dada.

Ada air mata di sini, bahkan di pipi itu ada begitu banyak kesan basah dengan segala luka yang menemani tubuh ketika terus mengeluarkan darah. Bahkan pekikan histeris terdengar seperti ingin memecahkan telinga yang begitu peka. Tubuh yang selama ini terlihat kuat hari ini menjadi bahan pertontonan yang mendalam.

Tidak ada lagi senyuman sombong, gerakan kaki yang angkuh juga menghilang, semua seakan dimusnahkan dalam waktu yang singkat ini. Bukan hanya sekadar luka untuk apa yang telah terjadi, tapi hari ini malam hari yang berisikan rasa sakit mendatangkan rasa sesak yang mengganggu pernapasan.

"Tidak..! Samith aku mohon jangan seperti ini..! Lepaskan aku! Aku ingin menemani dirinya! Lepaskan!" rontaan wanita cantik itu terus memecahkan air mata yang masih tidak juga berhenti ketika kedua pasang matanya melihat tubuh orang yang dicintainya terus kejang-kejang dan darah tidak berhenti keluar dari mulut yang terbuka. Semua menahan pekikan walaupun mata mereka tidak mungkin kering untuk apa yang terjadi.

Wanita itu terus bergerak untuk menghalangi siapa saja yang mengganggu keinginannya. Suara mesin tidak lagi berlaku, karena ketika pekikan itu terlontar maka apa yang ada di dalam tidak lagi menjadi yang utama.

Bahkan bangsal yang tadi melekat dengan ranjang milik pianis itu tergeser jauh, hingga membuat suara bising yang berlebihan. Antara pekikan dan suara mesin yang semakin brutal menjadi satu. Kini bukan lagi hari yang memiliki tangisan, tapi rasa takut yang begitu besar telah terjalan begitu erat.

"Bawa dia pergi!" ketika kondisi diri semakin parah dan darah belum juga berhenti untuk keluar, terdengar suara keputusan singkat yang begitu tegas. Pekikan Robbert yang kalut saat ini seperti menenggelamkan seorang wanita yang sedari tadi tidak juga berhenti untuk menjauhkan siapapun yang mengusik pianis itu. Ketika melihat mulut Samith terus mengalirkan darah yang begitu banyak dan tubuh masih terus kejang-kejang dengan ditemani matanya yang mengeluarkan air mata, saat itulah mereka seperti di siram api dan merasakan tubuh panas terbakar.

Mereka semua merasa tidak sanggup, lalu terjatuh terduduk dan dalam sekejap tidak bisa berkutik saat pianis itu telah sampai pada puncak luka yang begitu memilukan. Udara tidak lagi ada disekeliling mereka, ruangan ini telah membuat paru-paru terhimpit. Apalagi saat melihat keadaan pria itu, seluruh tubuh mereka, termasuk wanita itu, merasa tidak ada lagi tenaga.

"Samith !! Aku mohon bertahanlah! Ini aku, paman Bobby, kau harus bertahan!!" ketika darah masih terus mencari jalan keluar untuk menyusahkan si pemilik tubuh, Bobby bersikeras mencoba melepas selang yang ada di dada Samith sambil terus memekik. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan Camryn yang hampir saja pingsan. Meskipun ini bukan kali pertama ia melihat pianis itu dalam keadaan buruk seperti ini, tapi tidak bagi Camryn.

A Pianist Say Good Bye √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang