-XLVII-

276 32 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pandangan Camryn tidak pernah lepas dengan televisi yang berukuran kecil itu. Bahkan matanya sangat sulit sekali berkedip melihat apa yang ditayangkan oleh siaran chanel televisi di sana. Ada sesuatu yang memaku lensa untuk tetap bertahan walaupun rasa di dalam hati begitu sesak. Dan sialnya sesuatu adalah hal yang sebenarnya tidak layak untuk dilihat.

Di sana ada lensa lain yang di mana pandangannya terlihat sangat merindukan kehadirannya. Meskipun di sana tidak ada lisan yang langsung untuk mengungkit tentang kerinduan, tapi mata di luar sana jelas memberikan arti seperti itu. Ada kerinduan yang tidak terucapkan, dan ada pelukan yang tidak bisa tersampaikan.

Di sana seorang pria sedang berbicara dengan suara lembutnya sehingga membuat Camryn ingin menjerit. Jika saja di kamar ini tidak ada Hubble dan Allergen, tentu saja niatnya akan terlaksana. Samith Honours, pria itu terlihat sedang menyampaikan beberapa patah kalimat yang cukup panjang untuk mewakili pengunduran dirinya sebagai pianis. Tidak ada yang salah dengan pengunduran diri yang dilakukan, tapi saat pria itu mengungkit sesuatu yang menyesakkan, hari ini wanita ini sedang ditampar melalui jarak jauh.

Ucapan pengkhianatan itu terlontar membuat wanita ini tidak mampu mengendalikan pikirannya dengan baik, hingga tanpa sengaja matanya berkunang-kunang karena basah. Ia hampir saja menangis saat melihat dengan jelas televisi memperlihatkan air mata milik pianis  itu menetes di pipinya. Camryn seketika merasa lumpuh ketika merasakan sakit yang diperlihatkan Samith di televisi terlalu dalam.

"Maafkan aku.." sebenarnya ada banyak kata-kata yang ingin dirinya ucapakan, tapi ternyata bibirnya hanya cukup untuk dua kata itu saja. Dan sebenarnya ada juga banyak nada yang bisa lidahnya ciptakan untuk lisan, tapi nyatanya hanya nada getir dan rapuh yang hadir mewakili dua kata itu. Camryn sebenarnya bisa mengungkapkan ini di dalam hati, tapi ternyata bibirnya juga tidak kuasa untuk menahan getaran.

Meninggalkan pianis iru bukanlah keinginannya, dan meskipun ia pernah memiliki rencana untuk meninggalkan pria itu, tapi sungguh rencana itu sudah lama berlalu. Tapi apa yang dipikirkan telah berlalu nyatanya masih harus di jalankan, dan ia memang harus melakukan semua ini untuk membantu pemulihan ingatan pria lainnya yang juga terluka karena dirinya.

Pria itu sama sekali tidak pernah mengungkit tentang rasa sakit, dan hari ini Camryn baru mengetahui jika Samith ternyata mengalami masalah pada jemarinya. Ini sangat mengejutkan dan membuat wanita ini masih terus menggelengkan kepalanya dengan perlahan.

Meskipun waktu masih bersama pianis itu memperlihatkan jari-jarinya yang bergetar, tapi wanita ini pikir iru semua hanya efek dari kerja keras seharian. Jika saja hari ini matanya sama sekali tidak peduli pada televisi, mungkin selamanya ia tidak akan pernah tahu apa yang sedang dirasakan pria itu.

Ia masih terus menggelengkan kepala, dan menggenggam dengan erat Rosario yang ada di dadanya. Apa pria itu benar-benar kesulitan sampai harus mengundurkan diri? Apa semua karena dirinya? Harusnya ia bangga ketika melihat semua ini. Karena tangan itu telah memukul ayahnya di Gereja dengan keras, bahkan wanita ini ingat, pria itu pernah menginjak jari-jarinya dengan sepatu mahal. Harusnya apa yang diperlihatkan televisi menimbulkan perasaan senang.

A Pianist Say Good Bye √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang