14

3.7K 172 0
                                    

A lonely world cross another cold state line
Miles away from those I love
Purpose hard to find
-Dear God, Avenged Sevenfold

Sepanjang hari ini, dari pagi hingga menjelang pulang dan sampai ke ekskul mading, Mika tampak lain dari biasanya. Mika tampak sendu serta jadi lebih banyak melamun. Coky yang berisik saja sampai tidak berani mengusiknya seperti biasa.

Hanya orang seperti Milan yang berani langsung menegurnya. "Lo itu ketua mading. Kalo lo emang professional, nggak usah bawa-bawa masalah pribadi lo kesini. Disini kita mau diskusi, bukan ngertiin lo yang kayak orang desperate begini!"

Coky melotot, tidak membalas ucapan pedas Milan seperti yang biasa ia lakukan.

Desperate? Mika tersentil dengan kata-kata itu. Akan tetapi apa yang Milan katakan tadi memang benar. Mika tidak berhak mengelak. "Maaf." Gadis itu mengucapkannya sambil menunduk.

Melihat Mika seperti ini, malah membuat Milan makin kesal. Ia berdiri dari duduknya dengan sewot, "Ekskul hari ini udahan. Gue mau pulang!" serunya sambil menyambar tas yang ada di kursi. Sebelum keluar ruangan, ia sempat melirik Asa. Kejadian dimana Asa tiba-tiba turun dari mobilnya masih tergambar jelas di matanya. Menyebalkannya lagi, sampai detik ini Asa tidak juga menjelaskan apa pun terkait hal itu.

"Maaf kalo gue udah bikin berantakan. Yang lain kalo mau pulang, nggak papa pulang aja." sambung Mika merasa tidak enak.

Setelah Milan pergi, Safira segera menyusul. Tidak lama kemudian Coky juga ikut pergi. Menurut Coky, sekarang bukan waktu yang tepat untuk berada dalam situasi canggung seperti ini.

Tersisa Asa dan Mika berdua di ruangan mading itu.

"Lo nggak pulang?" tanya Mika pada Asa.

Bukan jawaban, Asa malah menyodorinya sebuah pertanyaan, "Apa lo masih ada waktu buat selain ngelamun?"

*

Dengan masih mengenakan seragam sekolah, seorang diri Mika menunggu di taman sebuah komplek perumahan yang letaknya tidak begitu jauh dari komplek perumahannya. Asa yang menyuruhnya menunggu di tempat itu sepuluh menit yang lalu. Asa juga bilang akan segera kembali ke tempat ia menurunkan Mika dari bus tadi.

Kriing... Kriing... Kriing...

Mika menoleh mendengar bunyi klakson sepeda. Rupanya itu adalah Asa yang kembali dengan naik sepeda.

Setelah memasang standard sepeda agar bisa berdiri, Asa menurukan sebuah kotak cukup besar dari boncengan di belakang yang sudah diikat sedemikian rupa agar tidak copot. Kotak itu ia bawa ke samping Mika yang duduk di bangku taman, di bawah pohon yang rindang. Cowok yang sudah mengenakan celana pendek selutut berwarna hitam dan hoodie dengan warna abu-abu, segera membuka kotak itu.

Mika terlihat penasaran. Dan begitu kotak itu terbuka, wajahnya langsung berubah 180 derajat. Ia langsung sumringah melihat seekor kucing yang Asa bawa. Tanpa meminta ijin pada Asa, cewek itu langsung mengambil dan memindahkan kucing berhidung pesek itu dari kotak ke pelukannya.

Asa membiarkan gadis itu melakukan hal yang ia mau sebab Asa sudah tau kalau Mika tidak sama seperti Milan. Milan yang takut dan tidak suka kucing, pernah refleks menendang Lev ketika Lev mendekati dan menyenggol kakinya. Karena peristiwa itu, Asa sempat marah selama 3 hari pada Milan dan Asa juga tidak pernah membiarkan Lev untuk bertemu dengan Milan lagi.

Kucing berwarna abu-abu short hair itu mengeong-ngeong. Mika menyahut seolah tau apa yang kucing itu katakan. "Wah, lucu banget! Jadi pengen gue bawa pulang!" ujar Mika senang.

"Jangan!" seru Asa cepat dan sedikit panik.

Mika segera meringis, "Becanda."

Asa pun langsung membuang muka. Malu karena ketahuan sangat posesif terhadap kucingnya juga malu karena Mika meringis padanya.

"Namanya siapa, Sa?" Mika mengangkat tubuh kucing itu melebihi tinggi kepalanya lalu mendekatkan wajah kucing itu dengan wajahnya, dahinya yang berponi bersentuhan dengan dahi si kucing.

"Lev."

"Lev? Nggak kependekan?"

"Ada saran nama yang lebih pendek lagi?"

"Hai, Lev. Pasti berat banget punya temen kayak Asa?" Mika mulai mengajak Lev mengobrol seperti layaknya manusia.

Asa mengernyit.

"Apa Asa suka ngajakin ngobrol? Dia kan nggak bakal ngomong kalo nggak ditanya duluan." lanjut Mika tanpa mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari Lev yang terus mengeong, seperti membenarkan semua yang Mika katakan.

Dari yang semula terlihat nyaman di pelukan Mika, kini Lev mulai terlihat gusar. Benar, ia melepaskan diri dari pelukan Mika. Lalu berjalan menjauhi Mika sambil mengeong-ngeong. "Eh, mau kemana, Lev?" Mika ikut berdiri dan segera mengejar Lev sebelum Lev pergi terlalu jauh.

Benar-benar pemandangan yang indah bagi Asa. Bisa melihat Lev bersama dengan Mika yang kini tersenyum cerah dan sesekali tertawa riang. Dari dalam saku hoodie yang ia pakai, Asa merogoh ponselnya. Moment ini terlalu sayang jika hanya ia rekam menggunakan otaknya.

Setelah puas bermain-main, Mika kembali ke tempat Asa dengan Lev di pelukannya. "Gimana nih, Sa? Kayaknya Lev nggak mau lepas dari gue."

Asa tidak menanggapi ocehan Mika. Ia malah bertanya pada Mika, "Udah?"

"Sebenernya masih pengen lebih lama sih, tapi—"

"Bukan itu. Tapi linglung lo." potong Asa.

Mika terdiam beberapa saat. Karena kucing, Mika jadi lupa kalau sebetulnya ada sesuatu yang membuatnya sendu seharian, melamun seharian.

Meong... Meong...

Mika menghela nafas pelan. Sekarang ia jadi ingat kalau ia harus kembali ke realita yang kadang tidak berjalan sesuai apa yang diinginkan.

Seharusnya, apa yang terjadi di hari Minggu kemarin adalah sesuatu yang bisa ia jadikan acuan untuk lebih semangat dan optimis dalam sebuah penantian. Setelah bertahun-tahun Mika hanya terus mengirim SMS tanpa pernah dibalas, kemarin, hari Minggu, untuk pertama kali Rivia membalas SMS darinya meski hanya dengan satu kata.

Mika sedikit serakah kala itu. Setelah mendapat balasan SMS, ia berharap ia juga akan mendapat telepon darinya. Atau telepon dari Mika akan diangkat olehnya. Berkali-kali Mika mencoba untuk menelepon Rivia setelah SMS itu, sebanyak itu pula Rivia tidak mengangkatnya. Mika mencoba SMS lagi, namun tidak ada lagi SMS masuk dari Rivia hingga sekarang.

Rivia hilang. Rivia kembali. Lalu Rivia hilang lagi. Kenapa? Bagaimana? Dimana? Tiga pertanyaan itu terus muncul di kepala Mika. Yang kemudian membuat pikirannya tersita.

Gadis itu menoleh menatap Asa. Sebuah anggukkan kepala menjadi jawaban dari pertanyaan cowok itu. Tidak seharusnya Mika sendu berlarut-larut. Tidak seharusnya ia melamun hingga membuat Milan marah. Mika harus pandai menyembunyikan perasaannya. Seperti yang sudah ia lakukan selama ini.

"Makasih, Sa." ucap Mika kemudian sembari tersenyum.

Senyum tercantik yang pernah Asa lihat dalam diri seorang manusia setelah senyum ibunya.

MIKAELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang