35

2.9K 134 1
                                    

Loving can hurt, loving can hurt sometimes
But it's the only thing that I know
When it gets hard, you know it can get hard sometimes
It is the only thing makes us feel alive
-Photograph, Ed Sheeran

Asa berlari tergopoh-gopoh menyusuri lorong rumah sakit. Diikuti Gavin di belakang. Asa tak berhenti menyalahkan diri sendiri yang baru mendengar kabar itu dari Gavin. Asa juga menyesal kenapa ia membiarkan ponselnya mati kehabisan battery. Sudah pasti orang rumah sudah mengabari lebih dulu lewat telepon atau chat.

Sampai di IGD, Asa melihat Lily dan Bu De berdiri dengan resah, gelisah, khawatir dan sedih. Mata Lily juga tampak basah karena tangis.

"Pap—" ucapan Asa terhenti ketika Lily menyambutnya dengan pelukan.

"Papa kamu, Sa... Papa..." Lily menangis di pelukan putranya.

"Papa kenapa? Papa kenapa ada di rumah sakit?" tanya Asa ketakutan.

Lily mengurai pelukannya, "Papa kecelakaan, Sa. Sekarang kondisinya kritis."

Asa terkejut bukan main. Wajahnya langsung pucat. Lidahnya langsung kelu. Hal tak terduga, menimpa orang yang ia sayang.

Sementara itu, Gavin yang berdiri jauh dari tempat dimana ketiga orang itu berada hanya bisa diam berdiri membeku. Ia yang sudah tau lebih dulu tentang kabar papa yang mengalami kecelakaan, mendadak diserang rasa takut dan trauma atas apa yang pernah menimpanya dulu.

Asa baru sadar dari keterkejutannya ketika Bu De menyentuh punggungnya. Dengan lembut Bu De membantu Asa untuk duduk di kursi tunggu depan IGD. Perempuan yang lebih tua dari Lily itu berusaha menenangkan Asa yang terguncang karena kabar ini. "Nggak papa, Mas. Bu De yakin Tuan akan mampu melalui ini." Asa tidak merespon. Dalam keadaan seperti ini, tidak mudah baginya mendengar sebuah nasehat.

Pintu IGD terbuka, memunculkan dokter yang kemudian menyampaikan pada kerabat bahwa Brama telah kehilangan banyak darah sehingga membutuhkan transfusi darah segera. Lily langsung kebingungan. Sebab selain memiliki golongan darah yang berbeda dari suaminya, kondisi tubuh Lily yang lemah dan suka sakit-sakitan tidak memungkinkan untuk melakukan transfusi darah. Ia langsung mencari sosok Gavin. Akan tetapi, yang ia lihat dari kejauhan hanya Gavin yang tegang dan pucat seperti mayat hidup, membuat Lily jadi tidak tega. Ia pun menatap anggota keluarga yang lain.

"Biar Asa aja." Asa dengan cepat berdiri. Tanpa ragu ataupun takut sama sekali.

Kepala Gavin pun dengan cepat menoleh ke arah Asa.

Lily segera menghampiri Asa, memperhatikan wajah Asa lalu memegang kedua pipinya. "Nggak, kamu nggak harus ngelakuin ini, Asa. Kamu yang sekarang belum memenuhi untuk menjadi seorang pendonor."

"Tapi Ma, sekarang nyawa papa sedang terancam! Mana mungkin Asa diam aja?" ujar Asa tidak sabar.

"Mama kamu benar, Nak. Kita perlu donator yang usianya 17 tahun ke atas, bukan anak-anak." Dokter ikut menimpali.

"Tapi saya sehat, dok. Saya kuat. Saya pasti akan baik-baik aja!" Asa masih ngotot ingin mendonorkan darah.

"Anu, maaf. Bagaimana kalau saya saja?" Kali ini Bu De ikut menyela perdebatan kecil mereka. Asa, Lily dan dokter menatapnya bersamaan.

*

Selagi menunggu Bu De yang ikut masuk ke ruangan mengikuti dokter, Lily dan Asa duduk dengan resah di depan ruangan yang makin malam makin terasa dingin. Sekarang Asa sudah lebih bisa menguasai diri. Ia juga sudah bisa menenangkan Lily yang tidak berhenti menangis.

MIKAELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang