55

2.9K 164 30
                                    

Like a shooting stars
Flying across the room
So fast, so far
You're gone too soon
-Gone Too Soon, Simple Plan

Hal yang pertama kali Asa lakukan setelah mobil berhenti adalah dengan cepat memastikan keadaan Mika. Gadis itu diam seperti patung. Tubuhnya tidak bergerak. Wajahnya pucat, tanpa ekspresi. Sangat kontras dengan ekspresi yang sebelumnya Mika perlihatkan.

"Ayo, Mika, kita turun." Ajak Risa lembut.

Mika menoleh pada perempuan itu. Menatapnya tanpa ekspresi. Terlalu syok dan terlalu banyak pertanyaan, membuat otak Mika blank seketika.

Risa tersenyum sambil mengelus punggung tangan Mika sebelum turun lebih dulu melalui pintu di sebelah kirinya.

Diikuti Mika yang keluar dari pintu sebelah kanan. Begitu kakinya menginjak tanah, tubuhnya langsung terhuyung dan nyaris jatuh jika Asa tidak lebih cepat menyangga kedua bahunya. Saat itulah, Mika menoleh menatap Asa.

"Lo sanggup?" bisik Asa tanpa sadar meremas kedua bahu Mika. Ini bukan hanya sekedar tidak menyenangkan bagi Mika. Ini pasti akan menghancurkan Mika. Dalam otaknya, Asa tidak pernah menduga skenario seburuk ini yang terjadi.

Pertemuan Rivia dengan Mika di pemakaman!

"Rivia ada di sana, nduk." Pak De menunjuk arah selatan daerah pemakaman itu.

Meski udara sore ini terasa sejuk, namun seluruh tubuh Mika terasa dingin. Sekujur tubuhnya nyaris menggigil. Bibirnya bergetar.

"Ayo, Mika." Risa meraih tangan Mika yang dingin, menggenggam lalu menggandengnya pelan yang hanya bisa Mika ikuti dengan pasrah.

Pak De, Risa, Mika dan Asa pun mulai berjalan pelan, menyusuri jalanan setapak di daerah pemakaman. Hanya butuh waktu kurang dari tiga menit, mereka sampai. Disini, di tempat ini, di depan sebuah makam dengan nisan bertuliskan Rivia Abdisa Prisma.

Pak De dan Risa segera berjongkok di depan makam itu. Pak De sibuk mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di sekitaran tanah makan Rivia. Sementara Risa terlihat mengusap—membersihkan—nisan milik putra satu-satunya.

"Nak, Mika datang." Bisik Risa tak kuasa menahan tangis.

Benar-benar seperti patung. Tak bersuara. Tak berekspresi. Tak bergerak sama sekali. Jika pun ada yang bergerak, itu hanya rambut dan baju Mika karena angin. Mika hanya diam berdiri dengan tatapan kosong yang tertuju pada makam Rivia.

*

Sejak kembali dari makam, Mika tidak keluar sama sekali dari kamar Rivia. Ia terus mengurung diri tanpa mau makan apapun, bahkan tanpa suara sedikit pun. Hal ini membuat Asa khawatir. Takut Mika akan sakit atau Mika sedang berbuat yang tidak-tidak di dalam sana. Bisa saja kan, rasa sakit akan kehilangan membuat orang tidak bisa berpikir jernih?

"Mika masih belum mau makan?" tanya Risa menghampiri Asa yang berdiri di depan kamar Rivia sambil membawa nampan berisi makanan.

Asa menggeleng. Setelah Risa, usahanya untuk membujuk Mika makan juga tidak berhasil.

Risa segera mengambil nampan itu dari tangan Asa. "Ya sudah. Kamu makan duluan saja. Dari tadi siang kamu juga belum makan, kan?" Risa tersenyum hangat.

Asa kembali menggeleng. Bagaimana ia bisa makan selagi Mika tidak makan. "Saya nggak laper, Tan."

Risa menghela nafas. Ia cukup paham. Ia pun tidak akan memaksa. Selanjutnya, ia mengajak Asa untuk duduk di sofa yang menghadap ke pintu kamar Rivia. Kalau ini, Asa tidak menolak. "Kamu teman sekolahnya Mika?" Risa mengawali pembicaraan.

Asa mengangguk, "Iya."

"Kalau Rivia masih hidup dan sehat, pasti dia udah kayak kamu." lanjut Risa sambil memperhatikan Asa dari samping. Matanya berkaca. Membayangkan putranya jika sampai hari ini masih hidup.

Asa pun menoleh, menatap wanita paruh baya yang tampak sedih itu. Asa paham seperti apa perasaan Risa. Sama. Asa juga pernah merasakannya. Rasa kehilangan yang amat, rasa sedih, rasa tidak rela dan tidak ikhlas. Itu semua pasti akan dilalui oleh orang yang pernah kehilangan orang yang disayang. Pasti.

"Sampe detik ini, kadang Tante masih nggak percaya, kalo Rivia udah pergi ninggalin Tante sendirian." Risa pun mulai bercerita.

Rivia meninggal lima bulan yang lalu akibat penyakit yang dideritanya tak lama sejak Mika pindah ke Jakarta. Penyakit itu sangat merenggut keseharian Rivia. Rivia yang hiperaktif, dipaksa menghabiskan waktu lebih banyak di kamar dan rumah sakit. Setiap hari ia harus mengkonsumsi obat dan menjalani pengobatan demi bisa kembali hidup normal dan sehat sehingga ia bisa menepati janji yang pernah ia buat pada Mika. Pergi ke taman kunang-kunang. Namun yang terjadi sebaliknya. Tiap hari penyakitnya makin parah. Tubuhnya makin kurus hingga tersisa kulit dan tulang. Kesempatan untuk kembali sehat terlihat makin mustahil.

Sejak menyadari kemungkinan hidupnya yang makin tipis, Rivia sudah mulai kehilangan semangat hidup. Janji taman kunang-kunang bersama Mika tak lagi cukup membuatnya berjuang. Ia sudah lelah, ia putus asa dengan usaha yang sudah ia lakukan tanpa hasil. Ia pun memutuskan untuk mengubur janji itu. Janji yang tidak akan pernah mungkin ia tepati.

Sengaja Rivia tidak memberi tahu Mika tentang kondisinya, sebab Rivia tidak ingin Mika khawatir padanya. Sengaja Rivia abaikan ribuan bahkan mungkin jutaan pesan Mika, agar Mika berhenti mengharapkannya. Rivia hanya ingin Mika melupakannya dan hidup dengan bahagia tanpa harus merasakan kehilangan atas dirinya.

Meski itu menyakiti Rivia sendiri. Meski itu susah Rivia lakukan. Setiap Mika mengirim pesan atau menelepon, Rivia harus menahan dirinya sendiri. Karena jika sekali saja ia goyah, Rivia tidak bisa jamin untuk tidak goyah untuk kedua, ketiga bahkan seterusnya. Skenario terburuknya, ia malah akan berhubungan dengan Mika dan menyulitkan Mika. Hal itu tentu bertentangan dengan keinginannya.

Namun ada satu hari di mana ia benar-benar sudah tidak bisa lagi menahan diri. Dimana saat itu adalah kesempatan terakhirnya untuk terhubung dengan Mika meski hanya sesaat. Untuk pertama setelah sekian lama dan untuk terakhir kali, ia membalas pesan Mika hanya dengan 4 huruf yang mampu ia ketik: Mika.

Malam hari setelah itu, Rivia dinyatakan meninggal dunia.

MIKAELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang