27

3.3K 160 1
                                    

So when you feel like you can't take
Another round of being broken
My arms are open
Oh, and when you're losing faith
And every door around you keeps on closing
My arms are open
-Arms Open, The Script

Dia adalah teman masa kecil Mika yang selalu memenuhi hari-hari Mika. Selain karena umur mereka yang sebaya, rumah mereka yang bertetangga dan sekolah mereka yang sama juga menjadi salah satu faktor yang membuat mereka dekat.

Dia mempunyai Pak De yang sangat baik padanya, juga pada Mika. Ketika Pak De menjemput dia di sekolah, tidak jarang Mika ikut serta dengannya menggunakan motor butut. Bagi Mika, Pak De-nya sudah seperti Pak De sendiri.

Dia suka sekali bermain di luar rumah. Anak seperti dia tidak akan mampu bertahan lama berada di dalam rumah. Sekali pun di rumah banyak mainan yang orang tuanya beli hanya untuknya. Bermain layang-layang, bermain kelereng, bermain bola, bersepeda, memanjat pohon rambutan tetangga sambil memetiknya, bermain air di sungai atau sekedar berlarian tidak jelas, itulah yang paling dia suka. Tidak peduli panas matahari yang sedang bersinar dengan terik atau hujan. Semangat bermainnya tidak pernah padam.

Karena dia, sedikit banyak Mika jadi tertular. Ia jadi tidak betah di rumah dan lebih senang menghabiskan waktu di luar rumah. Kadang sampai lupa belajar, sampai lupa waktu mandi dan mengaji. Kalau sudah begini, biasanya Mika akan mendapat omelan dari mama. Tapi berkat pembelaan Pak De, Mika jadi tidak pernah kapok.

Kedekatan mereka diawali saat bonek Mika direbut oleh gerombolan anak nakal lalu dimutilasi. Dia datang sebagai sosok pahlawan bagi Mika, yang memerangi kenakalan mereka dan berhasil mengembalikan potongan boneka Mika meski tidak lengkap karena sebagian sudah hilang.

"Jangan nangis, jelek tau. Besok-besok kalo kamu digangguin sama mereka lagi, lawan aja, Mik. Kalo kamu takut, biar aku yang hajar mereka." Dia menepuk dadanya angkuh sambil meringis lebar dengan salah satu gigi serinya yang tanggal karena belum lama terjatuh ketika sedang memanjat pohon mangga punya Pak RT.

Sejak saat itu, dia dan Mika tidak pernah terpisahkan.

"Mundur, Mik! Masih kurang!" teriak dia suatu sore di lapangan yang luas.

"Mundur-mundur terus? Udah jauh nih." Mika balas berteriak bete. Meski demikian, toh Mika tetap menurut.

"Masih kurang soalnya, Mik! Udah, mundur lagi! Sedikit lagi!"

"Segini?"

"Dikit lagi!"

"Segini?"

"Iya, iya! Udah. Sekarang tahan bentar, Mik! Di hitungan ketiga, kamu lepas ya layang-layangnya!"

Mika mengangguk patuh.

"Aku mulai hitung ya? Kamu dengerin! Satu... dua... tiga! Mika, lepasin sekarang!"

Hup!

Mika melepas layang-layang yang dari tadi ia pegang. Kemudian Mika segera berlari ke tempat dia berada. Mika menengadahkan kepala, memperhatikan dengan takjub layang-layang yang berhasil dia terbangkan.

"Lain kali, kamu yang nerbangin. Aku yang pegangin."

"Tapi aku nggak bisa." Ucap Mika polos.

"Tenang, kan ada aku!" sahutnya cepat sambil menepuk dada. Menepuk dada merupakan kebiasaan dia jika dia sedang membanggakan diri.

"Aduh!" itu adalah suara dia ketika sedang bermain kelereng di halaman rumah Pak De. Kelereng itu memantul dan mengenai kepalanya. Kemudian dia mengelus-elus kepalanya sambil menggerutu sebal. Sebab dia sakit, sebab dia kalah oleh Mika. Hanya dalam bermain kelereng, Mika lebih unggul darinya.

MIKAELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang