47

3K 139 9
                                    

From this moment, from this moment
You will never be alone
We're bound together, now and forever
The loneliness has gone
-Aftermath, Muse

Suasana sarapan pagi yang biasanya berlangsung hening, hari ini makin terasa hening. Baik Brama maupun Lily sudah sama-sama tau apa penyebabnya. Karena rahasia kakak beradik Gavin dan Asa sudah terungkap di sekolah pastinya.

Sebelum Asa masuk ke SMA Adhyaksa, Brama sudah menyarankan pada Gavin untuk tidak usah menutup-nutupi fakta itu karena apabila rahasia ini terbongkar, pasti akan memperburuk keadaan. Akan tetapi Gavin menolak keras dan memilih untuk tetap merahasiakannya dari pihak siswa dan beberapa guru. Terhitung hanya kepala sekolah, wakil kepala sekolah serta wali kelasnya yang tau tentang rahasia itu.

"Mama ingin suasana yang hangat di rumah ini." Celetuk Lily tiba-tiba membuat kegiatan mengunyah berhenti beberapa saat.

Lily memperhatikan satu per satu wajah Gavin dan Asa yang dibujuk agar bersedia ikut sarapan bersama pagi ini. Biasanya, Asa selalu melewatkan sarapan.

"Kalian tau, sebetulnya ini bukan masalah kalau kalian mau menerima satu sama lain. Khususnya kamu, Gavin." ujar Brama ikut bersuara.

Gavin tidak mengindahkan tatapan mata Lily maupun ucapan Brama. Gavin berangkat dulu." Gavin buru-buru meletakkan sendok ke atas piring. Lalu tanpa menyalami tangan kedua orang tuanya, ia bergegas keluar rumah.

Lily dan Brama hanya bisa menghela nafas. Lalu menatap Asa dengan senyum kecut. Meskipun Lily bukan ibu kandung Asa, namun kasih sayangnya pada Asa tidak perlu diragukan. Lily sangat menyayangi Asa, seperti ia menyayangi Gavin. Tidak sekali Gavin juga dibuat iri karena ibu kandungnya justru terlihat lebih sayang pada anak simpanan papa daripada anak kandung sendiri.

"Kamu berangkat sama Papa, ya?" ajak Brama kemudian.

Untuk pertama kali semenjak SMA, Asa berangkat bersama Brama. Bukan karena dilarang, namun Asa sendiri yang selalu menolak ajakan Brama. Asa lebih nyaman berangkat sendiri menggunakan bus. Tapi untuk kali ini saja, Asa mengikuti kemauan papa.

"Kalau kamu telat sedikit ke sekolah, nggak papa kan?" tanya Brama ketika sudah berada di dalam mobil bersama putranya yang hanya bisa mengernyit heran mendengar pertanyaannya. Brama tidak melanjutkan lagi. Pria itu hanya tersenyum hangat.

Sekitar lima belas menit kemudian, mobil akhirnya berhenti. Asa tau pasti tempat apa ini. Daerah pemakaman. Asa menoleh, menatap Brama yang hanya dibalas anggukan. Kemudian, kedua laki-laki beda usia itu pun turun dari mobil. Keduanya menyusuri jalan setapak yang akan mengantarkannya ke tujuannya. Makam Asyifa, ibu kandung Asa.

Sebetulnya Asa sedikit terkejut kenapa Brama tiba-tiba mengajaknya berkunjung ke makam Asyifa. Tapi Asa menolak untuk bertanya. Toh, ia juga rindu pada perempuan yang telah melahirkannya. Asa pun ikut berjongkok di samping Brama yang berjongkok lebih dulu.

"Kita dateng, Fa." Sapa Brama seolah-olah sedang berbicara langsung dengan Asyifa. Tangannya mengelus nisan yang bertuliskan nama tersebut. "Lihat, anak kita sekarang sudah besar kan?" lanjut Brama tersenyum.

Ya, seperti kata papa, Asa udah besar sekarang, Ma.

"Anak kita juga tumbuh hebat, loh. Pemikirannya dewasa, nggak seperti anak-anak seumurannya."

Itu tuntutan karena nggak ada mama di samping Asa, Ma.

"Dan yang paling penting, anak kita itu kuat."

Nggak, Ma. Asa nggak sekuat itu.

"Kalau kamu melihatnya, kamu pasti akan bangga."

Nggak! Asa menyedihkan!

MIKAELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang