46

3.1K 144 18
                                    

I should have seen it from the start
That you would rip my heart to pieces and then
Throw it into the trunk of your car
-Reality Without You, Our Last Night

Sejak terungkap fakta tentang hubungan Asa dan Gavin, keduanya sukses jadi bahan pembicaraan. Dari pembicaraan tersebut, muncul perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat Gavin telalu berlebihan. Sebenci apapun ia pada Asa, tetap hal memukuli Asa bukan tindakan yang dibenarkan. Sementara kebanyakan pendapat justru mendukung apa yang Gavin lakukan. Mereka mencoba memposisikan diri di posisi Gavin. Pasti marah, pasti kesal, pasti benci rasanya harus melihat seorang anak laki-laki yang kamu benci setiap hari bahkan setiap saat? Di rumah juga di sekolah. Karena anak laki-laki itu aib. Karena anak laki-laki itu terlahir dari rahim yang tidak semestinya. Lahir dari perempuan penyandang istri kedua. Perempuan perebut suami orang. Perempuan simpanan! Perempuan kotor!

Milan dan Coky sampai tidak tega mendengarnya. Kenapa mulut orang bisa setajam itu? Bahkan melebihi tajamnya pisau! Ingin rasanya mereka membantu Asa agar terlepas dari masalahnya. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

"Sa—"

"Gue nggak papa." Asa langsung memotong ucapan Coky sambil berlalu keluar kelas.

Coky yang berdiri berdampingan dengan Milan hanya bisa membiarkan Asa pergi menjauh.

"Gue nggak tega liat Asa gitu." Gumam Coky tidak sampai hati.

Tidak ada respon dari Milan.

"Mil, lo denger—eh? Kenapa lo nangis?" Coky kaget begitu menoleh ternyata Milan sudah banjir air mata.

"Asa nggak pantes dapetin itu semua! Ini nggak adil!" ujar Milan sesenggukan.

Untuk pertama kali, Coky menatap iba pada gadis itu.

"Asa berhak bahagia!" sambung Milan dengan tangisnya yang makin pecah.

Pertama kali juga Coky melihat gadis itu menangis seperti ini di depannya. Hal itu membuat Coky tergerak hatinya untuk menenangkan gadis itu dengan cara memeluknya.

*

"Oi, kalian semua! Dengerin gue!" seru Oktaf di hadapan banyak anak.

Semua anak di sekitarnya, segera menanti dengan bingung sekaligus antusias atas apa yang akan Oktaf sampaikan.

"Pada tau nggak, kalian?" pancingnya.

"Apaan, Taf?" tanya seorang anak.

"Si Asa."

"Asa kenapa?" sahut seorang anak lagi, cepat.

"Ternyata selama ini dia nyimpen rahasia besar dari kita!"

Semua langsung berkasak-kusuk.

Oktaf menyeringai pada Asa yang berada di antara banyak anak itu dengan wajah datar. "Asa itu sebenernya..."

Anak haram.

Anak simpanan.

Anak pelakor.

Dan segala sebutan anak buruk lainnya disematkan pada Asa.

Entah darimana Oktaf tau. Padahal Asa sudah sengaja memilih SMP yang berbeda dengan SMP tempat Gavin bersekolah. Namun hal itu rupanya tidak menjamin rahasia tentang dirinya tidak terungkap.

Kecuali Milan, semua orang menjauhinya karena statusnya. Semua yang dulu menyebut diri mereka teman, sekarang berbalik memusuhinya, berlomba menghinanya dan selalu mengoloknya. Hal itu berlangsung hingga hari kelulusannya.

Asa segera terbangun dari tidurnya. Ia baru saja mengalami mimpi buruk yang terasa begitu nyata karena sebelumnya Asa sudah pernah merasakannya. Asa tersenyum sinis pada dirinya sendiri. Ternyata tidak di dalam mimpi maupun di dunia nyata, semua orang memandangnya rendah. "Menyedihkan."

"Siapa?"

Seketika Asa mengangkat wajah. Di ruang ekskul yang sebelumnya hanya ada ia, kini sudah berdiri seorang gadis cantik. "Mika?" gumamnya nyaris tanpa suara.

Mika berjalan mendekati Asa, lalu berdiri di samping cowok itu duduk. "Siapa yang lo maksud menyedihkan?" tanya cewek itu.

Asa segera membuang muka. Enggan bertemu mata dengan Mika.

"Lo? Maksudnya lo sendiri?" lanjut Mika.

Asa tidak menjawab.

"Nggak. Lo nggak menyedihkan karena terlahir menjadi adik beda ibu sama kak Gavin. Lo nggak menyedihkan cuma karena lo terlahir dari istri kedua. Lo—"

"Lo tau apa?" potong Asa sembari menatap mata Mika.

Mika terdiam. Tidak menyangka Asa kan memotong ucapannya dengan melontarkan sebuah kalimat seperti itu.

"Lo yang nggak pernah ngerasain, mana tau, Ka?" getas Asa.

"Gue—"

"Apa yang mereka bilang itu bener. Gue emang anak istri kedua. Istri simpanan. Gue menyedihkan." Wajah Asa yang biasa datar, kali ini menunjukkan emosi.

"Oke, fine, kalo lo merasa diri lo menyedihkan. Tapi please, jangan berlarut-larut." Mika menyerah perihal debat tentang kata menyedihkan.

"Kenapa?" emosi Asa kian tampak lebih jelas.

"Karena di mata gue lo nggak begitu."

Gigi Asa saling beradu. Emosinya makin jadi. Di saat masalahnya belum teratasi, Mika kembali membawa masalah dalam hidupnya dengan apa yang baru saja Mika katakan. Sekejam itu Mika menyiksa perasaannya. Di saat Asa sudah tau perasaan Mika kini terpaut untuk Reki, kenapa Asa masih harus merasakan kebaikan serta kekhawatiran Mika? Andai saja menghilangkan perasaan semudah membalikkan telapak tangan. "Berhenti khawatirin gue." kata Asa selanjutnya.

Kening Mika berkerut, "Kenapa?"

"Gue takut gue makin suka sama lo."

MIKAELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang