"Mauren, gadis yang gak pernah senyum tapi mampu buat aku jadi pengen deket dia terus."
***
"Mbak, aku pulang ya. Besok aku kesini lagi," pamit Mauren dengan menundukkan setengah badannya sebagai tanda hormatnya pada sang manager.
Mauren membuka pintu Cafe dan udara dingin pun mulai menyambutnya, ini sudah malam sekali. Tepat jam 12 malam, dan berjalan kaki adalah pilihannya untuk pulang.
Gadis itu membuka tasnya dan mengambil jaket tebal di sana, udara begitu menusuk kulit sehingga ketika ia bernafas saja mulutnya keluar asap.
Baru 10 langkah berjalan menjauhi Cafe, seorang pria berpakaian sederhana mendatanginya dari arah belakang. "Kamu kenapa gak telfon aku kalo udah pulang?"
Mauren menoleh ketika merasa familiar dengan suara itu, ia menghela nafas. "Kamu ya, kenapa masih di sini sih? Ini udah malem, aku bisa pulang jalan kaki kok."
"Enggak, nanti kalo kamu di culik penjahat gimana? Aku takut kehilangan kamu," ucap pria itu dengan menggandeng tangan Mauren.
"Rivera, kamu kenapa malem-malem masih di luar?" Tanya Mauren tanpa menggubris gombalan cowok itu untuk menanyakan hal lain.
"Aku khawatir sama kamu, kenapa kamu gak mau aku jemput buat anterin kamu pulang? Aku bisa kok."
"Tapi aku yang gak mau, Ra! Aku mau hidup mandiri, aku gak mau terus-terusan repotin orang lain!" Mauren menghempaskan gandengan tangannya.
"Aku benci! Aku benci setiap kali aku merasa aku merepotkan hidup orang lain karena aku tahu gimana susahnya hidup ini! Jadi tolong jangan buat hidup aku jadi tambah ruet!"
Nafasnya terengah, ia bosan dengan orang yang sok peduli padanya. Ia hanya ingin hidup sendiri tanpa harus ada orang yang mengganggunya.
Kehadiran Erlang dan Rivera itu mengganggu, ia sejujurnya hanya ingin hidup damai dan tenang. Tak ada pasangan, ataupun pacar seperti orang-orang di sekitarnya katakan.
Mauren hanya ingin bekerja dan terus bekerja hingga secercah kebahagiaan dapat ia lihat, ingin sekali Mauren menangis meraung-raung supaya tuhan memberikannya sebuah keadilan.
"Kamu pergi aja, aku lagi pengen sendiri."
Ucapan itu adalah kalimat usiran bagi Rivera, cukup membuat pria itu terpaku di trotoar dengan kepergian Mauren yang sekejap mata.
"Kapan kamu bisa peka sama perasaan aku, Ra?"
***
Erlang membanting pintu mobilnya dengan emosi yang meluap-luap, ia marah begitu melihat Mauren sedang bicara akrab dengan seorang pria yang menghampirinya secara tiba-tiba.
Profesi Erlang hari ini itu menjadi penguntit sejati, hanya Mauren yang dapat mengubahnya menjadi seperti sekarang.
Cowok itu menjalankan mobilnya pergi menuju tempat tongkrongan seperti biasanya dia dengan teman-temannya, di sebuah rumah pemberian Bara ketika ulang tahunnya yang ke 16 tahun lalu.
Rumah itu khusus Erlang buatkan hanya untuk tongkrongan dirinya dan teman-teman komplotannya, walau rumah itu cukup mewah. Cukup.
Tetapi Erlang tak tahu ingin memfungsikan rumah itu sebagai apa, jadu pilihannya jatuh pada tempat tongkrongan untuk mereka.
Hanya sekedar bermain game, ngobrol-ngobrol biasa, merokok, saling membagi pengalaman atau menginap di rumah ini juga bisa.
Erlang membuka dengan lebar-lebar pintu rumah tongkrongan ini untuk para temannya, ia juga kadang-kadang suka menginap di sini jika hari sudah larut.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD ERLANG
Teen Fiction-END- #49 in Teen Fiction (August 12, 2018) #1 in Teen (June 9, 2019) Erlang Jordan Salvador Denza, Memiliki sifat galak sekaligus wajah yang tampan nan romantis. Kick Boxing adalah cabang olahraga yang paling ia sukai, selain menjadi anak dari pemi...