PART 26 ¤ Letter To My Dear ¤

90.5K 5.1K 116
                                    

Dimana ada matahari, disitu ada terang. Dimana ada Bintang, disitu ada malam. Dimana ada burung bercuit, disitu ada seseorang yang berbahagia.

***

Rivera meremas rambutnya seperti seseorang yang sedang di terjang rasa kefrustasian, semua barang di kamar rumah sakit ini ia lampar.

Ia marah, sedih, dan khawatir sekaligus. Tiga aspek yang mencerminkan jalan sesat bagi manusia, ia menatap pedih makanan yang masih tergeletak di nakas.

Makanan itu utuh seperti tak tersentuh, dimana seharusnya makanan itu dimakan oleh pasien yang di rawat namun ketika ia membuka pintu semuanya kosong.

Hanya makanan utuh dan barang-barang saja yang ia lihat, penghuni kamar ini yang ia cari sejak 2 jam lalu yang muncul juga hingga kini.

Ini salahnya, seharusnya ia tetap kukuh pada pendiriannya untuk menemani Mauren. Ini semua pasti ulah Erlang, lelaki laknat itu pasti penyebabnya.

"ERLANG DIMANA LO!!" Teriakan menggelegar milik Rivera itu bahkan sampai membangunkan seorang pasien yang jaraknya 3 kamar dari kamar TKP.

"Bahkan Mauren gak makan sebelum pergi, apa yang dia makan?" Gumaman itu bahkan terdengar seperti lirihan. Matanya buram akibat air mata.

"ARGHH!! MAUREN!! DIMANA KAMU!!" Teriaknya menendang kasur rumah sakit hingga bergeser posisi dan dirinya pun terjatuh bersamaan dengan lemari yang juga ikut terjatuh tersenggol kasur.

"Mauren, dimana kamu sekarang? Sudahkan makan? Tidakkah kamu memikirkan kondisi fisikmu terlebih dahulu jika ingin pergi?"

"INI BAHKAN LEBIH MENYAKITKAN DARIPADA KEMATIAN!"

"Aku membutuhkanmu, Mauren. Aku butuh keberadaanmu, aku butuh suaramu, dan aku butuh senyumanmu. Aku membutuhkan semuanya."

"Kenapa kau memilih pergi disana ada aku yang siap mencintaimu, dan siap menjadi yang kedua."

Rivera mengambil sesuatu dari kantong celana panjangnya, berbentuk persegi panjang dengan gambar menyeramkan dan aebuah korek api.

Ia mengambil satu batang dan menaruhnya diantara bibir, memandang benda itu dengan tajam lalu mematiknya menggunakan korek.

Seketika ujung dari benda berbentuk panjang itu terbakar dan memunculkan warna merah menyala, asap pun menguar mengelilingi area kamar nomor 15 ini.

"Kamu enggak tau seberapa besar rasa cintaku untukmu, Ren. Begini rasanya disakiti, seperti luka yang di berikan garam."

TOK TOK TOK

"Permisi, apa saya di izinkan masuk?" Teriak seorang perempuan, Ratih.

"MASUKK!!"

Cklekk

"Permisi, pak. Saya mengganggu, ada titipan dari seseorang. Dia tak memberikan namanya," ucap Ratih di dekat pintu seraya menyodorkan surat di tangannya.

"Bawa kemari." Ratih mendekat lalu menyodorkan surat itu, membungkukan badannya sebelum pamit undur diri.

"Terimakasih." Ratih mengangguk lalu keluar dari kamar.

Keadaan kembali sunyi sejak kepergian suster bernama Ratih itu, rokoknya masih berdiam indah di sela-sela bibirnya. Rivera membuka kertas itu perlahan.

Tak ada nama di bagian depan, hanya ada gambaran hati di tengah kertas dan anak panah yang menusuk hati lalu di atasnya berisi mahkota raja.

Kertas itu di lipat tiga, jadi Rivera tinggal menarik kertas itu ke atas dan terpampanglah rentetan kata-kata hingga memenuhi depan belakang kertas.

BAD ERLANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang